Rabu, 01 Juni 2011

Raja Bone ke-28

Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.

La Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.

Pada masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.

Kemanakannya inilah yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri Laleng Bata.

Dengan demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang.

Arumpone Besse Kajuara berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.

La Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta. Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap.

Selanjutnya Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia. Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri Majennang Suppa.

Adapun anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.

Selanjutnya Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,

Anaknya yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru Karaeng Baine ri Gowa.

Setelah I Malingkaang Karaeng Katangka meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang menjadi Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri). Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu.

Dari perkawinan Arung Alitta dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu Suppa. La Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya yang bernama La Mahmud Karaeng ri Baroanging.

We Seno dengan La Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi, kedua bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak pernah menikah.

La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae Datu Suppa. Dari perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We Maddelu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak Gellarang Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.

Ketika We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone, Pembesar Kompeni Belanda menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: Raja Bone ke-28 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates