Senin, 31 Desember 2012

GBPH Joyokusumo: Presiden Tak Pernah Belajar Sejarah


GBPH Joyokusumo: Presiden tak pernah belajar sejarah.
YOGYAKARTA –– Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah Mada, A.A.G.N. Arie Dwipayana, menilai pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tak mungkin monarki merupakan konsekuensi politik. “Suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah dengan pemilihan, bukan penetapan,” ujar Arie kepada Tempo kemarin. Tapi, katanya, pernyataan Presiden itu belum juga memberikan jawaban bagaimana posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di kantor Presiden kemarin menegaskan, sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki. “Tidak mungkin ada sistem monarki, yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden. Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional, juga keistimewaan, yang harus dihormati di Yogyakarta dan implementasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, katanya, keistimewaan tetap akan dipahami dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Harus tetap menampakkan dalam struktur pemerintah keistimewaan itu,”katanya. Arie Dwipayana mengatakan penilaian Presiden bahwa sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi dan konstitusi terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kenyataannya, Inggris maupun negara Skandinavia, yang menggunakan sistem monarki, bisa hidup dalam demokrasi. “Jadi tak benar jika monarki tak bisa hidup dalam nilai-nilai demokrasi,”kata Arie. Menurut Arie, monarki perlu diterapkan dalam konteks Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membuat desain bagaimana monarki bisa diakomodasi dalam demokrasi. Semisal dengan membuat sistem monarki konstitusional, yakni menggabungkan warisan tradisi monarki sebagai simbol pengayom dengan demokrasi. Adapun GBPH Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak pernah belajar sejarah. “Tapi hanya belajar sejarah elite Barat,” ujar Joyokusumo, yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Tapi, menurut dia, langkah Hamengku Buwono IX telah mengajarkan soal demokrasi ala Jawa, yaitu semua kebijakan bermanfaat bagi rakyat, bukan sistem. “Kalau demokrasi ala Soeharto berdasarkan sistem.” Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Janu Ismadi menegaskan, apa pun pernyataan Presiden, DPRD DIY tetap mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.“Ya, kami tidak bisa menerima pernyataan itu begitu saja,”kata Janu. Dewan berharap RUU Keistimewaan DIY bisa diselesaikan tahun ini, lantaran 2011 adalah masa berakhirnya perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY.“Pengawalan yang dilakukan DPRD DIY tidak lagi melalui pengiriman delegasi yang ketiga, melainkan melalui perwakilan DPR RI dari daerah pemilihan DIY,”katanya. Saat ini posisi draf RUUK masih di Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Foto: Lembaran Negara. Himpunan Undang2 1945, Koesnodiprodjo, Penerbit SK SENO Jakarta 1951.

Minggu, 30 Desember 2012

Salemba 6, 90 tahu (bag ke II)

Atas tuntutan yang lebih meningkat lagi, pada th 1927 didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundig Hooge School atau GH). STOVIA tidak dibubarkan tapi berjalan terus dimana baru ditutup dengan resmi pada tahun 1937. Kalau sebelumnya untuk memperoleh gelar
Arts harus pergi kenegeri Belanda, sejak GH tidak perlu lagi. Untuk memberikan peluang pada para mahasiswa ex STOVIA untuk ikut dalam pendidikan GH, mahasiswa tingkat IV keatas mendapat kesempatan melalui testing. Tentu saja mata kulia lebih dikembangkan dan fasilitas pendidikan jauh lebih baik. Lama pendikan GH adalah 7 tahun dan menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah atas. Berbeda dengan STOVIA yang menganut sistim pendidikan Guided Study atau pendidikan terpimpin, GH menganut sistim Free Study (pendidikan bebas) dimana sang mahasiswa menentukan kapan untuk menempuh ujian. Dengan perkataan lain jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun sukar diperkirakan. Saat itu timbul fenomena yang disebut sebagai Mahasiswa Abadi (de eeuwige student). Dalam kehidupan mahasiswa muncul dan tumbuh organisasi seperti Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan Bataviasche
Studentcorps (BSC).
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak itu kedua sekolah kedokteran GH dan NIAS (Nederlands Indisch Arts School) di Surabaya ditutup.
Pada tahun 1943 keduanya disatukan dan pendidikan diadakan di Jakarta dengan nama Ika dai Gaku. Tempat pendidikannya di Salemba 6 juga. Karena banyaknya mahasiswa dari luar kota, didirikanlah asrama yang terletak di jalan Prapatan 10. Berbeda dengan GH, lama pendikan Ika Dai Gaku adalah 5 tahun. Selama zaman Jepang berhasil lulus dua angkatan tahun 1944 dan 1945. Hampir semua lulusan menjadi dokter militer dalam kesatuan PETA. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Salemba 6 dan CBZ berubah menjadi Pergoeroean Tinggi Kedokteran dan Roemah sakit Pergoeroean Tinggi. Dalam perjalanan sejarah pendikan kedokteran di Indonesia ini sempat berpindah tempat beberapa kali. Mula-mula ke Malang dan Klaten, kemudian pada tahun 1950 kembali ke Jakarta. Pada saat itulah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditetapkan berdiri. Zaman Revolusi di Jakarta (1948) Rumah sakit dan Pergoeroean Tinggi Kedokteran sempat diambil alih pihak Belanda. Pihak Republik Indonesia tidak bisa menerima keadaan ini sehingga pihak tenaga pelaksana Dokter, Perawat dan tenaga administrasi termasuk para pasien meninggalkan Rumah sakit.
Bagaimana Salemba 6 dan RSCM (Diponegoro 71) saat ini ? Telah berubah banyak. Menyongsong akan dibangunnya Twin Tower di halaman dalam FKUI dan telah dibangunnya Rumah Sakit Kencana di ujung barat, Kita tidak mengenal lagi bagaimana CBZ dan STOVIA pada tahun 1919 dan 1920.
90tahun telah berlalu biarlah kenangan tetap melekat yang dapat mencitrakan sulitnya perjuangan, jatuh bangunnya dan geliat keras melawan tantangan dan cobaan dalam alam pendidikan dokter, penelitian kedokteran serta pelayanan yang memadai bagi rakyat Indonesia...
Foto atas: Penandatanganan Prasasti dan peletakan batu pertama oleh Nyonya Gubernur Jenderal Van Limburstirum.

Sabtu, 29 Desember 2012

Salemba 6, 90 tahun

Ir Hein von Essen pada tahun 1914-1915 mendapat tugas dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merencanakan dan membangun sebuah kompleks Pelayanan Kesehatan diatas sebuah persil ditepi kali Ciliwung Jakarta. Pada tanah di Salemba ini pada waktu sebelumnya, di
sebelahnya memang sudah dibangun Pabrik Madat (Opium Fabriek). Hein adalah sarjana tehnik sipil terkenal saat itu dari biro pembangunan bernama Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.). Kompleks terdiri dari sebuah Rumah Sakit Umum sebagai pengganti Rumah Sakit Umum pemerintah di Glodok (Stadsverband) yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat. Rumah Sakit baru di Salemba ini rampung pada tahun 1919 dan kemudian terkenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Disebelahnya berhasil dibangun laboatorium kedokteran. Tentu saja setelah 90 tahun bangunan Rumah Sakit yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini telah banyak berubah. Beruntung laboratorim yang kini bernama Lembaga Biologi Molekul Eijkman masih berdiri tegak sebagaimana aslinya. Pada tanggal 26 Agustus 1916, Gravin N van Limburg Stirum mewakili suaminya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, untuk menandatangani Prasasti dimulainya pembangunan gedung School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah kedokteran pribumi yang disingkat sebagai STOVIA ini sudah ada sejak tahun 1902 yang terletak di daerah Kwini Jakarta (kini jalan dr Abdurachman Saleh). Karena didesak perkembangan kemajuan dunia kedokteran sebagai institusi pendidikan dan penelitian dipindahkan ke Salemba. Selanjutnya STOVIA, CBZ dan laboratorium kedokteran merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Pendidikan ahli kesehatan di Hindia Belanda sudah ada sejak th 1851 yang dikenal sebagai sekolah Vaccinateur. (juru cacar). Dalam perkembangannya pendidikan yang hanya 2 tahun itu meningkat dari tahun ketahun. Lama pendidikan dan tambahan pengetahuan akhirnya menetapkan pada tahun 1853 berdirinya Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa). Pendidikan yang lebih ditingkatkan lagi pada th 1902 berhasil dibentuk pendidikan dokter pribumi dengan nama STOVIA. Rumah Sakit Pendikan untuk STOVIA adalah Militair Hospitaal (rumah sakit tentara) yang kini adalah RS Gatot Soebroto. Mungkin sejalan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit yang meningkat di Batavia, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai rumah sakit pendidikan, kompleks di Salemba ini dibangun. Mahasiswa juga menjadi lebih nyaman untuk belajar di wilayah baru yang lebih luas tersebut.

Jumat, 28 Desember 2012

may Jen Susalit


Foto putera satu-satunya RA Kartini, yaitu Raden Mas Singgih yang waktu kecilnya bernama Susalit (Jawa : susah wiwit alit atau dalam bahasa Indonesia susah sejak kecil). Foto saat pelantikan Batalyon Sudjono dan Batalyon Darjatmo pada tanggal 5 Mei 1948 oleh Jenderal Mayor Susalit. Tampak ikut hadir Panglina Besar Jenderal Soedirman.

Kamis, 27 Desember 2012

Pertemuan guru sejarah di Nijmegen Belanda.

Setahun yang lalu pada bulan Maret 2011 di Nijmegen Belanda, diadakan pertemuan besar para guru sejarah  dari seluruh dunia. Sebanyak 40 orang hadir disana. Mereka mendiskusikan sejarah Eropah. Geschiedenis 24 (sebuah lembaga TV Belanda yang terkait pada bidang sejarah) memawancarai mereka. Tentu saja antara lain soal koloni Belanda, Hindia Belanda yang setelah merdeka bernama Republik Indonesia sekarang. Rasanya tidak ada guru sejarah Indonesia yang ikut kesana. Dalam foto adalah guru sejarah Marzia Gigli dari Italy yang menyinggung soal Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Mestinya guru sejarah Indonesia bisa memberikan sumbangan pendapatnya kalau ada yang ikut.

Rabu, 26 Desember 2012

Dari Politik ke Kebathinan

Oleh SK Trimurti (dalam majalah Tempo 21 April 1990, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/21/MEM/mbm.19900421.MEM20311.id.html#
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)

Jumat, 07 Desember 2012

Mobil Bung Karno pada tahun 1945


Ada sebuah mobil buatan tahun 1939 bermerk “Buick 2 Phaetons”. Mobil ini teronggok di Museum Gedung Juang Menteng 31. Banyak cerita soal mobil ini. Yang menarik katanya: Alkisah, sesudah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sebagai negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, jelas pemerintah RI tidak memiliki apa-apa, kecuali semangat merdeka. Gedung-gedung masih dikuasai tentara Jepang, yang telah menyatakan bertekuk lutut kepada Sekutu. Senjata paronomasia hanya sebagian kecil yang berhasil direbut dari tentara Jepang. Bung Karno yang secara aklamasi dipilih sebagai presiden, juga belum punya kantor, bahkan masih tinggal di rumah sendiri, belum bisa masuk Istana Rijswijk di depan Lapangan Ikada. Demikian juga kelengkapan untuk Presiden, seperti mobil dan pasukan pengawal belum ada. Menyadari perlunya kendaraan bagi seorang presiden, Sudiro (nantinya menjadi Walikota Jakarta) ingin 'berburu' mobil bagi presidennya. Sudiro tahu, mobil yang terbagus di Djakarta waktu itu dimiliki oleh seorang pejabat Jepang. Mobilnya itu bahkan lebih hebat dari yang dipakai atasannya, Gunseikan (Kepala Pemerintahan Pendudukan Jepang) atau Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi Balatentara Jepang). Mobil itu bikinan Inggris bermerek Buick, dengan 7 tempat duduk. Mobil bercat hitam yang masih mengkilat itu tampak mewah dan kaca belakang dihias dengan kain halus. Jalannya mulus tanpa suara, karena masih baru. Mobil itu oleh pemiliknya diparkir di kantor Departemen Perhubungan. Ketika Sudiro ke sana, dilihatnya sopirnya sedang duduk di dekat mobil. Sudiro segera meminta si sopir untuk menyerahkan kunci mobil. Tentu saja si sopir kaget dan menolak. Akhirnya ia bersedia menyerahkan kunci mobil itu. Pasalnya, Sudiro mengatakan mobil ini untuk Presiden (Bung Karno). Kepada sopir itu Sudiro memberi uang 300 rupiah gum ia segera pulang ke tempat asalnya, Kebumen. Setelah si sopir pergi, Sudiro yang telah memegang kunci mobil itu baru ingat bahwa ia belum bisa menyopiri mobil..
Apa betul itu mobil Bung Karno ? Jawabnya kurang lebih demikian. Tapi rasanya cerita diatas bukan mobil ini yang dimaksud. Mungkin mobil lain. Kalau mobil ini, Bung Karno dapat dari pemerintahan militer, kemungkinan sejak tahun 1943. Mobil inilah yang dipakai Bung Karno tanggal 7 Agustus 1945 saat menghadap di Gunsekan yang diterima oleh Jenderal Nishimura karena akan segera dibentuknya PPKI. Ini ada dalam film Nampo Hodo Nippon Eigasha Djakarta dengan kode No.43 ESTRA. Tampak dari capture, foto kanan atas saat mobil tiba dan kanan bawah saat sopir membukakan pintu dan Bung Karno keluar. Masih bisa terlihat dari foto-foto sebelah kanan No Plat Mobil B 7295. Foto sebelah kiri atas, pada tahun 80-an mobil ini yang pernah jadi milik orang lain dan rusak, diperbaiki serta bisa jalan. Dalam salah satu hari kemerdekaan dicoba diikutkan dalam pawai. Rupanya sudah bobrok sehingga dipinggirkan dan didorong. Foto kiri bawah, dari internet  perusahaan Buick yang menginformasikan secara rinci  Buick 2 Phaetons tahun 1939. Ada kemungkinan seperti informasi yang perlu diteliti lebih lanjut kalau mobil ini dizaman Belanda adalah mobil dinas direktur De Javasche Bank ?

Minggu, 02 Desember 2012

Pak Urip Santoso telah tiada.


Pada tanggal 1 Desember 2012 jam 14.00, Laksamana Pertama (Purn) Urip Santoso telah dipanggil Sang pencipta (Khalik). Beliau meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta setelah untuk beberapa lama dirawat. Pak Urip punya riwayat hidup yang amat panjang dan berwarna warni. Saat Revolusi Kemerdekaan, ketika Tentara Nasional dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, beliau adalah anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Kapten. Namun karena pada menjelang agresi militer Belanda 1947 ditangkap pasukan Belanda di Tambun, maka sepanjang tahun 1948 ditawan secara berpindah-pindah mulai penjara Glodok, Tanggerang dan Bukit Duri. Karena diajak kompromi dan mau disekolahkan, beliau menolak maka sampai menjelang pengakuan kedaulatan tahun 1949 masih tetap dipenjara. Akhirnya bersama 5 orang tawanan lainnya antara lain Pramudya Ananta Tur dan Kolibonso, dilepaskan dari penjara tanpa pernah diadili. Kemudian aktif kembali di TNI AD. Membaca penguman akan dibuka pendidikan perwira TNI AL di Belanda, beliau minta izin dari komandannya saat itu yaitu Kolonel Zulkifli Lubis untuk keluar dari TNI. Maka sejak itu dan lulus dari testing, Pak Urip adalah taruna Adelborst di Akademi Angkatan Laut Belanda sebagai anggota TNI AL dalam pendidikan. Setelah selesai bertugas kembali dalam jajaran TNI AL dimana salah satu karyanya adalah ikut mendirikan KOPASKA (Komando Pasukan Katak). Berbagai pengalaman lain misalnya sebagai pimpinan Operasi demolisi saat TRIKORA, pimpinan operasi salvage pembersihan pelabuhan-pelabuhan dari kapal-kapal karam ex perang dunia ke II dan sempat pula menjadi anggota DPR utusan angkatan. Dan masih banyak lagi pengalaman beliau yang tidak cukup pendek untuk diceritakan disini. Foto: Pak Urip saat bertugas sebagai perwira tinggi TNI AL, Jenazah saat disemayamkan di rumah duka, saat pemakaman di TMP Kalibata dan baret serta simbul KOPASKA....Selamat jalan Pak Urip.

Sabtu, 01 Desember 2012

Lunglai di Rawa Klambu

RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. "Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.

Foto atas, Saat Amir tiba di Yogyakarta dengan kereta api tanggal 5 Desember 1948...masyarakat tidak menyambutnya sebagai Pahlawan.
Sumber: Majalah TEMPO online 8 November 2010

Selasa, 06 November 2012

Penganugrahan Pahlawan Nasional 2012

STOP PRESS
Dikala hampir semua stasiun TV Indonesia menayangkan pemilihan Presiden di Amerika Serikat, Nampaknya cuma SCTV yang meliput langsung peristiwa penganugrahan Pahlawan Nasional kepada Ir Soekarno dan Drs Mohamad Hatta. Tampak SBY membacakan pidatonya, para Menteri Anggota Kabinet dan Anggota DPR RI. Utamanya tampak keluarga Bung Karno dan Bung Hatta khususnya mantan Presiden Megawati Sukarno Putri. Penganugrahan ini nampaknya diterima oleh Guntur Soekarno Putra dan Meutia Hatta Swasono .

Soekarno-Hatta Diberi Gelar Pahlawan Nasional


Pemerintah melalui Dewan Tanda Gelar Jasa dan Kehormatan akhirnya memutuskan Presiden-Wakil Presiden pertama Indonesia Soekarno dan Hatta diberi gelar pahlawan nasional. Gelar akan diberikan pada pihak keluarga besok di Istana Merdeka. "Tahun ini diberikan kepada dua orang yakni Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta. Beliau akan dianugerahi pahlawan nasional. SK-nya akan ditanda-tandangani. (Penyerahan) akan dilakukan besok," ujar Menko Polhukam Djoko Suyanto di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (6/11/2012). Djoko selaku Ketua Dewan Tanda Gelar Jasa dan Kehormatan enggan membeberkan alasan pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan tersebut. Rencananya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan menjelaskan alasan tersebut. Sementara itu, juru bicara Kepresidenan Julian Aldin Pasha mengungkapkan gelar ini akan diterima oleh keluarga Soekarno-Hatta. "Pihak keluarga berkenan untuk hadir," katanya. Sumber tulisan: http://news.detik.com/read/2012/11/06/183628/2083731/10/soekarno-hatta-diberi-gelar-pahlawan-nasional   Foto: Tahun 1948. Dengan pose yang sama ini pada tanggal 17 Agustus 1945, keduanya bertindak sebagai proklamator.

Senin, 29 Oktober 2012

Anak Betawi ikut memutuskan Soempah Pemoeda tahun 1928.


Anak Betawi itupun sebagai wakil kaumnya, ikut memutuskan Soempah Pemoeda tahun 1928.
Dia bernama M Rochjani Suud. Bukan dianggap enteng dia adalah Meester in de Rechten (Mr) sarjana hukum lulusan tahun 1927 dari Rechtshogeschool Batavia. Rochjani lahir di Jakarta pada tanggal 1 November 1906 dan aktif dalam pergerakan nasional melalui organisasinya yang bernama Pemoeda kaum Betawi. Pada tahun 1928 organisasi kedaerahan ini ketuanya adalah Abdul Chalik sedangkan Rochjani menjabat sekretaris. Atas undangan panitia kongres pemuda ke II kepada organisasi anak Betawi ini, pengurus organisasi memutuskan akan ikut serta. Dan dalam rapat anggotanya disepakati menunjuk Rochjani sebagai wakil Pemuda kaum Betawi. Sejarah membuktikan dalam piagam Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia tanggal 27-28 Oktober 1928 nama Pemoeda Kaoem Betawi tercatat.

Sugondo Dojopuspito dalam acara Sumpah Pemuda 1928

Rapat ketiga Kongres Pemuda ke II yaitu rapat yang penghabisan pada tanggal 28 Oktober 1928 malam hari yang diadakan di gedung Kramat 106 dimulai dengan kekecewaan dan sakit hati berhubung pandu-pandu Indonesia tidak dapat dilaksanakan karena dihalang-halangi oleh polisi Belanda. Tetapi kekecewaan dan sakit hati sekali lagi menguntungkan bagi perjoangan karena mendorong memperkuat persatuan untuk memper-joangkan cita-cita yang tinggi yaitu Indonesia Merdeka. Kemudian Ramelan memberi ceramah tentang kepanduan. Dikemukakan tentang tujuan pandu yang antara lain berisikan: mendidik diri untuk mengejar kemuliaan budi, membantu orang tua, berbakti pada tanah air dan bangsa dan sebagainya. Pangemanan dari INPO memberi tambahan uraian tentang kepanduan dan memuji pembicara Ramelan yang beragama Islam dan merupakan kawan sejati Pangemanan yang beragama Kristen. Ucapan Pangemanan ini mengandung idee persatuan di antara orang-orang Indonesia yang berlainan agama. Kemudian datang giliran Sunario SH untuk memberikan ceramah. Ternyata bahwa obyek ceramah adalah lain daripada yang dicantumkan dalam acara. Yang diuraikan Sunario SH bukan tentang Pergerakan. Pemuda Indonesia dan pemuda luaran, tetapi tentang Pergerakan Pemuda dan persatuan Indonesia. Sunario SH mengemukakan bahwa adalah wajar bila pemuda-pemuda bekerja keras untuk persatuan karena kehendak ini sesuai dengan kehendak zaman. Usaha pemuda ini sesuai dengan usaha kaum dewasa (kaum politik) yang telah mencapai persatuan dalam rupa federasi PPPKI. Dikemukakan juga bahwa Kongres Pemuda ini hendaknya menjadi sendi persatuan dan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa. Dan persatuan Indonesia harus demokratis jika hendak sempurna. Dan persatuan ini hendaknya jangan di kota-kota saja tetapi meluas sampai di desa-desa sehingga menjadi persatuan yang kuat dan tidak terpatahkan. Disinggung juga mengenai kepanduan yang dianggap memegang peranan penting dalam meninggikan derajat bangsa dan juga menanamkan patriotisme. Karena itu perkumpulan-perkumpulan kepanduan kebangsaan harus dibantu dan diperluas. Perlu diketahui bahwa Sunario SH pernah memimpin Kepanduan NPO. Akhirnya Sunario SH berseru agar pengerahan pemuda menjadi tenaga penggerak persatuan Indonesia. Di tengah-tengah Sunario SH memberikan ceramah dalam rapat ketiga yang dipimpin oleh ketua Sugondo, maka Muh. Yamin yang sebagai Sekretaris duduk di sebelah ketua menyodorkan secarik kertas kepada Sugondo sambil berbisik: "Saya punya rumusan resolusi yang lebih "elegant (bergaya)". Sugondo membaca rumusan resolusi yang tertulis pada secarik kertas itu lalu memandang Yamin yang juga memandang Sugondo dengan senyuman manis. Reaksi Sugondo yang spontaan adalah membubuhi perkataan "Setuju" dengan parap pada usul rumusan resolusi. Selanjutnya Sugondo meneruskan usul rumusan resolusi itu kepada Amir Syarifudin yang memandang Sugondo dengan mata bertanya-tanya. Sugondo mengangguk-anggukan kepala dan Amir membubuhi perkataan "Setuju" pada rumusan lain. Lain-lain anggota Panitia Kongrespun menyetujui usul rumusan resolusi Kongres Pemuda II secara demikian, secara referendum. Demikianlah terjadinya naskah "Sumpah Pemuda" yang akan dibacakan di muka umum. Dengan redaksi usul resolusi yang bagus yang diterima oleh Panitia Kongres tadi Yamin dengan sekaligus telah memperbaiki posisinya di kalangan PPPI sebab dalam pertemuan organisasi-organisasi pemuda yang dipimpin PPPI, Yamin, seorang anggota PPPI, telah menentang fusi dengan keras, sedangkan pendirian PPPI tentang persatuan adalah fusi. Sikap Yamin ini dapat dimengerd, karena ia meskipun anggota PPPI tetapi juga mewakili Pemuda Sumatra yang pada waktu itu belum menyetujui fusi. Perlu dicatat bahwa Yamin kemudian menyetujui bentuk fusi seperti terbukti dalam peleburan Pemuda Sumatra yang diwakilinya ke dalam badan fusi yang bernama Indonesia Muda. Orang tentu bertanya mengapa Yamin memajukan usul rumusan resolusi tersebut secara tidak wajar, artinya tidak di dalam rapat-rapat panitia sebelumnya tetapi justru sewaktu ada ceramah dan ketua Sugondo sedang memimpin rapat yang mendengarkan ceramah. Jawabannya terletak pada siasat yaitu untuk menghindari perdebatan yang dapat berlarut terutama mengenai bahasa Indonesia (Melayu) sebagai bahasa persatuan. Pada waktu itu pemuda-pemuda lebih banyak mengerti bahasa daerah dan bahasa Belanda daripada bahasa Melayu.

Jumat, 14 September 2012

Tommy Lee Jones sebagai Jenderal Douglas MacArthur


Bintang film pemenang Oscar, Tommy Lee Jones sebagai Jenderal Douglas MacArthur. Sungguh cocok perannya dalam film "Emperor". Seperti kita ketahui pernah ditulis buku tentang MacArthur berjudul "American Caesar" diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (2 buku) sebagai Sang Penakluk... 

Kamis, 13 September 2012

Perang Bone (1824-1905)

EKSPEDISI I  (1824)

Pasukan Belanda sedang menyerbu Bone.
Setelah jatuhnya Kesultanan Gowa, Kesultanan Bone menjadi yang terkuat di seantero Sulawesi; sejak awal telah merdeka dan menyebarkan pengaruh ke seluruh negeri di Sulawesi; Kesultanan Luwu dan sejumlah negara kecil lain bersekutu dengan Bone, begitupun Kesultanan Soppeng. Setelah peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda, suasana masih tetap damai, namun setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; LetKol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.

EKSPEDISI II (1825-1905)

Perang Bone adalah operasi militer yang dilakukan Belanda atas Kesultanan Bone pada bulan Januari 1825, dan dilaksanakan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger.
Latar belakang
Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen baru meninggalkan Celebes (sekarang Sulawesi) setelah ekspedisi terdahulu atas Bone dilancarkan secara besar-besaran atas batas pemerintahan Hindia-Belanda, di mana pasukan Belanda menaklukkan Pangkajene dan Labakkang, menduduki Tanete dan mengembalikan penguasa terguling ke atas tahta. Dengan 25.000 orang, mereka mengendalikan wilayah subur antara Tanete-Maros dan juga menduduki Bantaeng dan Bulukumba di bagian selatan; May. Wachs menaklukkan mereka di dataran Maros dan mengalahkan telak orang Bone; di sisi lain benteng milik pemerintah Maros, Bantaeng dan Bulukumba tak cukup kuat untuk mengalahkan serangan berdarah tersebut dan seluruh Celebes terancam kalah.
Ekspedisi
Ekspedisi besar-besaran dilancarkan di bawah pimpinan MayJend. Jozef van Geen; di saat bersamaan ia diangkat sebagai Komisaris Pertama Urusan Celebes dan Tobias dan Van Schelle, pegawai negeri sipil, disertakan untuk membantunya. Pasukan ekspedisi itu terdiri atas 4.100 orang, di mana 2.200 adalah serdadu, 1.100 pasukan dari Sumenep dan 800 jiwa dari pasukan penolong dari sejumlah negeri di Celebes yang menjadi antek Belanda; armada tersebut dipimpin oleh Kapt. Pietersen dan terdiri atas 7 kapal perang, 3 perahu meriam dan perahu panjang bersenjata. Pada tanggal 20 Januari 1825, Van Geen menerima jabatan komando tinggi dan seminggu kemudian tibalah kapal Louisa bersama komandan dan staf dari Makassar. Teluk Bone dipelajari dengan baik dan pantainya dijelajahi; dengan letak seperti itu, taruna kelas I Jan Carel Josephus van Speijk menandainya; ekspedisi berlanjut ke Bantaeng dan Bulukumba dan semua benteng ditaklukkan; armada tersebut melanjutkan perjalanan ke Bone, di mana angkatan Bone telah berkumpul di Sinjai; sekarang serangan di sayap (dipimpin oleh May. Gey van Pittius) dilancarkan dan orang Bone dihalau, namun berkelompok di mana-mana dan menebar ancaman untuk memotong jalur pulang; barulah mereka dapat dihalau oleh panah api dari perahu-perahu yang dipimpin oleh Zoutman.

Pendaratan di pantai Bajoe, 27 Maret 1825
Pada tanggal 15 Maret, pendaratan diakhiri, kerja lapangan dilakukan di pesisir dan di sana berdiri 5.000 orang Bone yang siap menyerang pasukan tersebut. Van Geen hanya mengizinkan roket ditembakkan ke arah para penunggang kuda Bone agar menimbulkan kepanikan di antara mereka dan serangan dapat dilanjutkan. Musuh menarik diri ke daerah pegunungan, yang di situ berdiri 7.500 pasukan cadangan, dan serangan mendadak dengan kekuatan besar dilancarkan melalui garis tembak melintasi rawa dan diusir. Van Geen mengizinkan husar Resimen VII menyerang di sayap, sementara May. Gey van Pittius mencoba mengatur perhatian atas Bone, di mana musuh menarik diri di daerah pegunungan itu. Mangara Bombang ditaklukkan dan di hari berikutnya pusat kekuatan musuh di Sinjai Besar harus ditaklukkan namun saat itu musuh sudah tidak ada. Pada tanggal 22 Maret, pasukan tersebut naik kapal ke Bajoe dan Bone ditaklukkan.
Bajoe dipertahankan, sejam berlalu, di mana pasukan Bajoe mengundurkan diri dengan dikawal melalui kubu, bersandar menuju rawa tak tertembus itu dan di sana dilakukan pertahanan dengan senjata berat. Setelah datang, pasukan Belanda menyerbu Bajoe dan pasukan Bone dihalau dalam misi tersebut. Pada tanggal 30 Maret, pasukan Belanda mencapai kubu pertahanan Bone; kotanya sendiri sudah ditinggalkan oleh penduduknya; sang Ratu juga telah melarikan diri dan di sana Van Geen mengumandangkan proklamasi penguasaan kembali hingga perundingan diselenggarakan. Le Bron de Vexela memimpin pasukan dalam jumlah besar ke Makasaar untuk membantu kekuatan persenjataan Belanda. Pada tanggal 20 Juni, armada tersebut berlayar ke Suppa, yang mempersiapkan diri untuk menyerang dan sebuah pernyataan ditujukan pada sultan. Sultan Suppa menyerahkan diri, senjatanya dilucuti dan ini menandai berakhirnya perang tersebut.
Sumber :
1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn
1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.
1876. A.J.A. Gerlach. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indië. Drie delen. Gebroeders Belinfante, Den Haag.
 

Minggu, 09 September 2012

Asal Mula Kota Sabang dan Pulau Weh


Tak banyak literatur yang bisa diperoleh untuk menjelaskan asal-usul Kota Sabang. Legenda yang beredar di masyarakat Sabang, yang terletak di Pulau Weh, pulau itu dulunya bersatu dengan daratan Sumatera. Namun, akibat gempa bumi, ribuan bahkan belasan ribu tahun lampau, pulau ini terpisah dengan daratan. Begitu juga dengan pulau-pulau di sekitarnya, Seperti Pulau Rondo, Pulau Rubiah, Pulau Seulako dan Pulau Klah.

Sekitar tahun 301 sebelum Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut.

Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi samudera melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan juga menamainya Pulau Emas, pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh.

Dan pada awal abad ke-15. Penjelajah asal China, Cheng Ho, pernah singgah di sana tahun 1413-1415. Catatan Ma Huan, salah satu penerjemah Cheng Ho, menjelaskan bahwa di sebelah barat laut dari Aceh terdapat daratan dengan gunung menjulang, yang dia beri nama Gunung Mao. Di sana terdapat sekitar 30 keluarga. Banyak para ahli sejarah menegaskan bahwa yang dimaksud Gunung Mao itu adalah Pulau Weh.

Dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan yang kemudian diterjemahkan menjadi The Overall Survey of The Ocean’s Shores, Ma Huan menceritakan bahwa daratan itu menjadi salah satu tempat persinggahan para saudagar dari berbagai negara.

Gunung Mao yang tampak mencolok dari lautan itu menjadi suar atau petanda bagi para saudagar. Sabang sendiri merupakan penghasil kayu laka terbaik serta penghasil bunga teratai.

Erond juga menduga bahwa Sabang saat itu menjadi salah satu bagian dari jaringan perdagangan maritim yang membentang dari Teluk Persia sampai China Selatan pada abad ke-12 sampai ke-15. Thailand, Sri Lanka, dan India termasuk di dalamnya.

Asal Mula Nama Sabang Dan Pulau Weh

Nama Sabang sendiri, berasal dari bahasa Aceh ”Saban”, yang berarti sama rata atau tanpa diskriminasi. Kata itu berangkat dari karakter orang Sabang yang cenderung mudah menerima pendatang atau pengunjung. Karakter ini agak berbeda dengan karakter orang Aceh umumnya yang cenderung tertutup terhadap orang yang baru mereka kenal.

Versi lain menyebutkan bahwa nama Sabang berasal dari bahasa arab, yaitu "Shabag" yang artinya gunung meletus. Dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.

Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa aceh, ”weh” yang artinya pindah, menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya merupakan satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, yakni penyatuan daratan sabang dengan daratan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh berasal dari kata Ulee Lheueh ("Lheueh" ; yang terlepas). Syahdan, bahwa Gunung berapi-lah (yang teresbut diatas) meletus dan menyebabkan kawasan ini terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera dulu, yang terpisah akibat Krakatau meletus.
Pulau "W" / Weh / Sabang
Dalam Versi lain, Pulau Weh juga terkenal dengan pulau "We" tanpa h. ada yang berasumsi jika pulau weh diberi nama pulau we karena bentuknya seperti huruf "W".
Menurut sebuah legenda menceritakan putri cantik jelita yang mendiami pulau ini meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa ditanami. Untuk itu, dia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai bukti keseriusannya. Sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian menurunkan hujan dan gempa bumi di kawasan tersebut.

Kemudian terbentuklah danau yang lalu diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu hingga saat ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang meski ketinggian airnya terus menyusut. Setelah keinginannya terpenuhi, sang putri menceburkan diri ke laut.

Meski tidak ada sumber tertulis yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang menjadi daerah yang subur dan indah setidaknya tecermin dari adanya taman laut yang indah di sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah memberi penghidupan kepada masyarakat.

****

Pulau Weh atau Sabang telah dikenal dunia sejak awal abad ke-15. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun.

Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.

Pada tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986 dengan alasan menjadi daerah yang rawan untuk penyelundupan barang.

Awal Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan Sabang sebagai pelabuhan bebas dan kawasan perdagangan bebas. Barang-barang yang diimpor lewat Sabang bebas pajak. Mobil-mobil mewah asal Singapura dijual murah di kota itu.

Namun, ketika Aceh ditetapkan sebagai daerah operasi militer, aktivitas Sabang sebagai pelabuhan bebas terhenti. Aktivitas pelabuhan bebas makin sepi dengan terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 610/MPP/Kep/ 10/2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menperindag Nomor 756/MPP/Kep/12/2003 tentang Impor Barang Modal Bukan Baru. Tak boleh lagi ada barang bekas yang boleh masuk dari seluruh daerah perbatasan Indonesia, termasuk Sabang.



Sabtu, 08 September 2012

Silsilah Raja-Raja Bone


Silsilah Raja, silsilah keluarga, bagan silsilah, ataupun diagram silsilah adalah suatu bagan yang menampilkan hubungan keluarga (silsilah) dalam suatu struktur pohon. Data genealogi ini dapat ditampilkan dalam berbagai format. Salah satu format yang sering digunakan dalam menampilkan silsilah adalah bagan dengan generasi yang lebih tua di bagian atas dan generasi yang lebih muda di bagian bawah. Bagan keturunan yang menampilkan semua keturunan dari satu individu memiliki bagian yang paling sempit di bagian atas.
Bagan leluhur, yang merupakan suatu pohon yang menampilkan leluhur seorang individu, memiliki bentuk yang lebih menyerupai suatu pohon, dengan bagian atas yang lebih lebar daripada bagian bawahnya. Beberapa bagan leluhur ditampilkan dengan seorang individu berada pada sebelah kiri dan leluhurnya di sebelah kanan.
Seperti halnya Raja-Raja Bone memiliki Silsilah seperti yang dimaksud di atas. Adapun Silsilah Raja-Raja Bone berikut ini diterbitkan oleh Lembaga Adat Bone bekerja sama Pemerintah Kabupaten Bone yang dieksplorer Lembaga Seni Budaya Teluk Bone via situs http://www.telukbone.org

Untuk melihat dan menelusuri Silsilah Raja-Raja Bone yang diterbitkan oleh Lembaga Adat Bone
Silakan Klik di sini

Rabu, 05 September 2012

3 Permintaan Kartosoewirjo sebelum dieksekusi mati


Tanggal 5 September 2012 bertempat di TIM II diadakan acara peluncuran buku Fadli Zon..."Hari Terakhir Kartosoewirjo. Sarjono Kartosoewirjo putra Kartosuwirjo menyampaikan pidatonya soal Bapaknya mengenai permintaan sebelum eksekusi. ADA empat permintaan yang disebutkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sebelum dieksusi mati di Pulau Ubi. Dari empat permintaan, hanya satu yang dikabulkan Ketua Mahkamah Darurat Perang kala itu. Demikian diungkapkan oleh Sarjono, putra bungsunya dalam peluncuran dan bedah buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu (5/9/2012) beberapa jam yang lalu. Pertama, Kartosoewirjo menginginkan pertemuan dengan perwira-perwira terdekat.  Permintaan ini ditolak. Kedua, Kartosoewirjo minta eksekusinya disaksikan oleh perwakilan keluarga. Namun permintaan ini juga ditolak dengan alasan bertentangan dengan budaya. Ketiga, Kartosoewirjo yang memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) ini meminta jasadnya dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan di pemakaman keluarga.  Permintaan ini juga ditolak. Permintaan keempat, bertemu dengan keluarga sebelum ditembak mati, dikabulkan oleh Ketua Mahkamah Darurat Perang saat itu.
Ketika itu terjadi, saat itu Sarjono masih berusia 5 tahun. [sa/pz/islampos]

Sabtu, 25 Agustus 2012

Hindia Belanda Menjelang Perang Dunia ke II

3 Penguasa Hindia Belanda sebelum perang. Kiri ke kanan. Jenderal Gerardus Johannes Berenschot (Panglima KNIL), Gubernur Jenderal Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Gubernur Jenderal Hindia Belanda tera
hir) dan Laksamana Conrad Emil Lambert Helfrich (Panglima Angkatan Laut Belanda di Hindia). Sebenarnya sudah tidak ada hubungan sejarah antara zaman keemasan Kolonial Belanda di Hindia itu dengan zaman Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat saat ini. Kecuali upacara Kemerdekaan yang selalu diadakan setiap tahun di Istana Merdeka. Tempat itu (istana Gambir atau Koningsplein Palace...sekarang kita selalu menyebutnya sebagai Istana merdeka), adalah cacat dari Revolusi Indonesia. Memuliakan tempat tersebut selalu seolah membuka luka lama dari penderitaan penjajahan oleh Kolonial Belanda. Tempat itu sejak didirikan selalu menjadi tempat terhormat bagi perayaan-perayaan Pemerintah Hindia Belanda. Ketiga tokoh ini sebelum perang saat diambil gambarnya, sedang bergembira ria dimuka Koningsplein Palace...Mungkin sedang merayakan Koninginnedag atau Hari Ratu pada setiap tanggal 31 Agustus. Saat itu ratu Belanda adalah Wilhelmina. Sementara gedung dan tempat yang romantis-legendaris bersahaja dan sangat berjasa yaitu Rumah Bung Karno atau Rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi) dicampakkan, dibongkar dan tidak dihargai . Sehingga terkesan disia-sia ? Mana penghargaan Bangsa Indonesia pada itu jiwa Kemerdekaan yang kita harus pelihara ? Kembali kepada ketiga penguasa Hindia Belanda sebelum perang. Perlu ditambahkan, ketiganya tidak bernasib sama. Berenschot meninggal dunia saat pesawatnya pada tanggal 13 October 1941 meledak di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta. Tjarda van Starkenborgh saat Jepang menduduki Jawa Maret 1942 ditangkap dan dipenjara. Baru pada Agustus 1945 saat dipenjara di Manchuria dibebaskan tentara sekutu. Mungkin yang nasibnya baik adalah Helfrich yang berhasil melarikan diri ke Ceylon beberapa saat sebelum Jepang tiba. Oleh karena itu hanya Tjarda dan Terporten (pengganti Berenschot) yang langsung digiring Jepang masuk kamp interniran di Bandung setelah menyerah tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 8-9 Maret 1942. Setelah Belanda kembali ke Indonesia (Oktober 1945) Helfrich kembali pada jabatannya sebelum perang, tapi karena tidak cocok dengan sekutu khabarnya atas desakan banyak pihak diganti oleh stafnya yaitu Laksamana Pinke. Ada harapan saya bisa dimunculkan diskusi atas topik dan hal ini ? Ada yang berminat ? Nanti akan kita angkat dokumen lain terkait yang mungkin ada gunanya untuk Nation and Character Building Bangsa Indonesia ?

Jumat, 03 Agustus 2012

Grebeb Maulud di Yogya pada masa lalu

Grebek Maulud tahun 1930-an di Yogya. Tampak Sultan Yogya HB VIII menerima kedatangan Gubernur Belanda dan Residen Belanda. Terdengar lagu Wilhelmus diperdengarkan. tampak Gunungan dibawa masuk. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Tentu saja tanpa Wilhelmus..

Sabtu, 28 Juli 2012

Daan Jahja Gubernur Militer Jakarta tahun 1949-1950

Letnan Kolonel H. Daan Jahja lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Januari 1925  meninggal di Jakarta, 20 Juni 1985 pada umur 60 tahun, adalah Gubernur (Militer) Jakarta dan Panglima Divisi Siliwangi. Jebolan Sekolah Tinggi Kedokteran dizaman Jepang (Ika Daigaku). Dikeluarkan karena menolak penggundulan serta berdemo terhadap pemerintah pendudukan militer Jepang di Jakarta. Ia memainkan peranan penting dalam menumpas aksi Kapten Westerling yang mau merebut kekuasaan negara karena tidak menerima penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949. Daan Jahja lahir dari pasangan Jahja Datoek Kajo dan Sjahrizan Jahja, asal Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya merupakan anggota Volksraad yang cukup vokal, dan orang yang pertama kali berpidato menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad. Daan merupakan anak yang tertua dari sembilan bersaudara. Daan Jahja aktif terlibat pada masa-masa revolusi Indonesia. Dia bergabung dengan kelompok Prapatan 10, satu dari dua kelompok pemuda yang paling menonjol pada masa kemerdekaan Indonesia. Kelompok Prapatan 10 yang bermarkas di Jl. Prapatan 10, Jakarta merupakan pengikut Sutan Sjahrir. Sedangkan kelompok lainnya, yakni Menteng 31 menjadi pengikut Tan Malaka. Daan Jahja menjadi salah seorang pemimpin dalam kelompok Parapatan 10 ini. Pada peristiwa Rengasdengklok, Daan dan kelompok Prapatan 10 maupun Menteng 31 bertugas untuk membawa Soekarno-Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Kedua kelompok ini menuntut agar Soekarno-Hatta cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Beliau juga terlibat aktif pada saat rapat raksasa 19 September 1945 di Lapangan Ikada, Jakarta. Pada masa Agresi Militer Belanda II, beliau ditempatkan di wilayah Sumatera. Kepada menteri pertahanan Mohammad Hatta, ia menyampaikan memorandum agar pemerintah menyiapkan pangkalan cadangan di tempat yang lebih luas yang memungkinkan pemerintah bergerak lebih leluasa untuk perang gerilya. Tempat yang disarankannya adalah Bukittinggi, Sumatera Barat, mengingat ruang gerak di pulau Jawa yang semakin sempit. Saat menjabat gubernur militer Jakarta, Daan Jahja berhasil menyelesaikan masalah administratif pemerintahan Jakarta yang sebelumnya diatur oleh Belanda. Letnan Kolonel H. Daan Jahja wafat pada tanggal 20 Juni 1985 tepat pada saat Idul Fitri 1405. Beliau wafat sepulang dari mesjid Sunda Kelapa, Jakarta setelah melaksanakan salat Ied

Kamis, 26 Juli 2012

Garuda Pancasila di gedung Parlemen RIS


Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), dilengkapi perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958. Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950 tersebut, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita. Seperti tampak pada foto atas, adalah gedung Parlemen RIS yang sebelumnya bernama Gedung Concordia terletak disebelah Gedung Kementerian Keuangan Lapangan Banteng Jakarta. Gedung ini sudah lama dibongkar. Foto bawah Sidang .Parlemen RIS dimana Presiden RIS Soekarno sedang membacakan pidatonya. 

Senin, 23 Juli 2012

Republik Indonesia Menjelang Agresi Militer Belanda Pertama


Tanggal 24 Juni 1947, Sjahrir berangkat ke Yogya untuk memberi penjelasan tentang kemajuan perundingan Indonesia-Belanda. Setibanya di Yogya, kedaan politik sudah sangat keruh disana. Hampir semua kelompok politik menentang keras kebijakan Perdana Menteri Sjahrir selaku pimpinan pemerintahan yang berunding dengan Belanda. Abdul Madjid teman separtai yang diutusnya lebih dahulu, ternyata telah bertindak melawannya dan memberikan keterangan yang negatif kepada pihak lain. Partai besar PNI, Masyumi bahkan sayap kiri sendiri yang merupakan partai Sjahrir bersama Pesindo menentangnya dengan keras. Orang yang menjadi kawan seperjuangan sejak lama, yaitu Amir Sjarifudin ikut tidak setuju pada tindakannya. Sjahrir tidak dapat berbuat lain. Sesuai dengan asas dan sopan santun demokrasi yang berlaku, tanggal 27 Juni 1947 Perdana menteri Sjahrir meletakkan jabatan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Dengan berakhirnya kabinet Sjahrir ketiga, kepala pemerintahan dipegang langsung Soekarno sebelum dapat dipilihnya formatir untuk membentuk kabinet yang baru. Tanggal 2 Juli 1947 Soekarno menunjuk Amir Sjarifudin, dr AK Gani dan Setiadjid Soegondo bertindak sebagai formatir dalam membentuk kabinet Republik Indonesia yang baru. Kabinet kelima R.I dilantik pada tanggal 3 Juli 1947, dipimpin oleh Amir Sjarifudin sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini dinamakan kabinet Amir Sjarifudin pertama. Mereka tidak membuat kebijakan baru dan menjalankan kebijakan yang lama termasuk melanjutkan perundingan dengan Belanda. Dasar perundingan Indonesia-Belanda selanjutnya tetap yaitu persetujuan Linggarjati. Tapi situasi nasional sudah demikian buruknya sehingga ditambah kemunduran Sjahrir, Belanda menjadi ragu-ragu melakukan perundingan yang serius, dan siap untuk berperang. Walaupun campur tangan Amerika telah diupayakan untuk mencegah meluasnya konflik politik menjadi menjadi konflik militer, tgl 21 Juli 1947 Belanda melakukan aksi polisionil pertamanya yang di Indonesia dikenal sebagai “Agresi Militer Belanda yang Pertama”. Demikianlah meskipun pihak Belanda mengatakan saat melaksanakan agresinya bahwa Persetujuan Linggarjati masih berlaku, namun persetujuan Linggarjati yang mana ? Sejak muncul istilah Linggarjati yang disandangi, maka timbul pendapat bahwa sesungguhnya ada dua linggarjati. Pertama Linggarjati yang disetujui dan diparaf bersama oleh delegasi Indonesia dan Belanda pada tanggal 15 November 1946 dan Linggarjati yang diberi interpretasi sendiri oleh Belanda dan ditambah keterangan pidato Menteri Seberang Lautan Jonkman dimuka parlemennya pada tanggal 10 dan 19 Desember 1946. Naskah ini dikenal sebagai “Aankleden Linggarjati” atau Linggarjati yang disandangi itu.

Sumber: Buku: Terobosan Sukarno dalam perundingan Linggarjati

Rabu, 11 Juli 2012

Joko Wi dari Solo


Ir. Joko Widodo (lahir di Surakarta21 Juni 1961; umur 51 tahun), lebih dikenal dengan nama julukan Jokowi, adalah wali kota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bakti2005-2015. Wakil wali kotanya adalah F.X. Hadi Rudyatmo. Ia dicalonkan oleh PDI-PJokowi meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun
1985. Ketika mencalonkan diri sebagai wali kota, banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia terpilih. Namun setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif dilakukan olehnya. Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik  nvestor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran. Dari tanggal 2 - 6 Juli 2012, kota Solo adalah tuan rumah penyelenggaraan Konferensi sejarah Internasional yang ke 22 kali dari  IAHA (International Association of Historians of Asia) dan Konferensi ke 4 kali HOMSEA (History of Medicine South East Asia).  Oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".Joko Widodo mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilgub tahun 2012 dengan Basuki Tjahaja Purnama, mantan bupati Kabupaten Belitung Timur
Kalau Jokowi bisa jadi Gubernur DKI Jaya mudah-mudahan DKI bisa berubah menjadi baik disemua bidang yang kita risaukan itu...
Sumber tulisan: sebagian dari Wikipedia
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates