Kamis, 28 Februari 2013

Peringatan 67 Tahun Pemberontakan PETA Blitar

Dalam rangka peringatan 67 tahun peristiwa Pemberontakan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Shodancho Suprijadi di Blitar, bertempat di Museum PETA Bogor telah diadakan upacara dan Sarasehan. Foto: Atas, Museum PETA Bogor dengan patung Suprijadi didepan. Bawah, para panelis sarasehan: Bapak Alwin Nurdin, Bapak Purbo Suwondo, Bapak Tinton Suprapto (ketua Yayasan PETA) Bapak Sutjipto Kertadjaja dan Bapak Halim Danoeatmodjo. Semoga ada gunanya....

Rabu, 27 Februari 2013

Mr Kasman Singodimejo

Mr. Kasman Singodimedjo (lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 – meninggal di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada umur 78 tahun) adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946 menggantikan Mr Gatot yang mengundurkan diri dalam kabinet RI pertama. . Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Di zaman Jepang Pak Kasman adalah salah satu Daidancho (pimpinan batalyon) Tentara Pembela Tanah Air atau PETA. Markas Batalyonnya terletak Harmoni disebelah Bank Tabungan Pos yang sering disebut Batalyon Jaga Monyet. Selama hidupnya aktif dalam idiologi Islam misalnya Masjumi dan Parmusi. Anehnya saat muda adalah anggota kepanduan Surja Wirawan yaitu organisasi pemuda dibawah Parindra.

Selasa, 26 Februari 2013

Sejarawan Asvi Marwan Adam: Ilyas Karim berbohong mengaku kibarkan bendera


Sabtu, 03-September-2011 (16:19:39 WIB) Khresna Guntarto (http://m.gresnews.com/baca/161939-sejarawan-ilyas-karim-berbohong-mengaku-kibarkan-bendera)
Jakarta - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam, membenarkan pendapat Sekjen DPP Legiun Veteran, Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono S K, yang menyebut Ilyas Karim (84) bukanlah pengibar bendera merah putih pada 17 Agutus 1945, di Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi.
"Iya, saya sependapat dengan Sekjen Legiun Veteran ini. Saya sudah pernah tampil dalam suatu acara di Jak TV bersama dengan Ilyas Karim. Saya meragukan apa yang disampaikan Ilyas Karim ini," kata Asvi saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (3/9).
Menurut Asvi, pendapatnya itu sudah disampaikan sekitar satu atau dua tahun lalu di stasiun televisi swasta lokal itu. Namun, Asvi mengaku heran, belakangan ini Ilyas Karim kembali diangkat oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.
"Saya heran tiba-tiba salah satu televisi, yakni TV One pada 17 Agustus menampilkan Ilyas Karim sebagai tokoh acara 17 Agutus di Tugu Proklamasi. Itu yang menyebabkan dia mendapatkan hadiah," tutur Asvi.
Asvi menilai, Ilyas telah berbohong karena beberapa pernyataan-pernyataannya kurang tepat. Misalnya, pengakuan Ilyas yang ikut membawa Soekarno ke Rengas Dengklok.
"Sepengetahuan saya nama Ilyas Karim itu tidak ada. Tidak ada pemuda bernama Ilyas Karim. Itu kan pengakuan baru muncul setelah semua saksi mata meninggal," kata Asvi.
Selain itu, sambung Asvi, kejanggalan juga terletak pada pengakuan Ilyas yang tinggal di Asrama Menteng bersama Dari Laskar Hizbullah. "Setahu saya tidak ada Laskar Hizbullah yang tinggal di sana," katanya.
Lalu, mengenai pengakuan Ilyas yang menyebut pengibaran bendera dibantu oleh Singgih. Menurut Asvi nama Singgih memang tercatat dalam jajaran pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Tapi, Singgih bukan pengibar bendera.
"Memang ada tapi bukan pengibar bendera," kata Asvi.
Oleh sebab itu, disimpulkan Asvi, keterangan Ilyas Karim tidaklah tepat. Kendati demikian, sambungnya, ketidaktepatan ini untungnya sudah pernah diungkap ke publik oleh televisi swasta yang mengangkat kehadiran Ilyas.
"TV One sudah meralat dengan menghadirkan keluarga Soehoed dan Latief (Soehoed dan Abdul Latief Hendraningrat dari Barisan Pelopor). Mereka protes," ungkap Asvi.
Rubrik Surat Pembaca Kompas hari ini (hal 7) ada surat dari Sekjen DPP Legiun Veteran RI, Wahyono, bahwa Ilyas Karim (84) yang mengaku sebagai pengibar bendera merah-putih 17 Agstus 1945 di Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, berbohong. Pengibar yang benar adalah Abdul Latief Hendraningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Sementara Ilyas Karim pada 17 Agustus 2011 mendapat apartemen dari PT. Pradani Sukses Abadi di Kalibata City.
Foto: Asvi Warman Adam peneliti sejarah LIPI (kiri), Ilyas Karim dalam seragam TNI dengan pangkat Let.Kol (kanan)

"Snapshot" Amir Sjarifoeddin


Oleh: Rosihan Anwar
Membaca tulisan Sabam Siagian berjudul Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin (SP 31 Mei 2008) tampil lagi di layar ingatan saya beberapa snapshot Bung Amir, sebagaimana saya mengenalnya pada zaman pendudukan Jepang dan hari-hari pertama revolusi Indonesia. Pada suatu malam pertengahan 1942, zaman Jepang, di sebuah gedung di jalan yang kini bernama Merdeka Barat, Jakarta, Barisan Pemuda Asia Raya digembleng oleh Mr Amir Sjarifoeddin, pemimpin nasionalis terkenal. Atas dorongan Dr Abu Hanifah, saya dan Usmar Ismail memasuki perkumpulan Barisan Pemuda Asia Raya, yang selain dilatih berbaris secara militer oleh dua mantan opsir tentara KNIL juga diberi ceramah- ceramah mengenai nasionalisme. Bung Amir menguraikan sejarah pergerakan nasional dan menganjurkan agar pemuda melanjutkan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemuda harus senantiasa senasib sepenanggungan dengan rakyat. Juga mendengarkan kata wong cilik. Dia menggunakan sebuah tamsil, yaitu supaya pemuda mendengarkan "radio masyarakat". Saya sangat terkesan oleh kepandaian Bung Amir berpidato. Saya kemudian menulis cerpen untuk ikut dalam perlombaan mengarang yang diselenggarakan oleh majalah Djawa Baroe. Judul cerpen Radio Masyarakat, terpilih sebagai pemenang nomor tiga. Dikasih hadiah Rp 50. Kelak dimuat oleh HB Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Karena buku itu dipakai dalam pelajaran sastra pelajar SMP, saya dikenal sebagai yang menciptakan istilah Angkatan 45 dalam kesusasteraan, dan sebagai penulis cerpen Radio Masyarakat.
Pertemuan kedua dengan Bung Amir terjadi di Stasiun Gambir petang hari 1 Oktober 1945. Pada hari itu Merdeka, yang dipimpin BM Diah, terbit untuk pertama kali. Sebagai redaktur pertama harian Merdeka bersama Wali Kota Jakarta Suwiryo saya menunggu kedatangan Bung Amir dari Surabaya. Dia ditangkap oleh Jepang pada Januari 1943, dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25.000 gulden dari Van der Plas sebelum kapitulasi Belanda kepada Jepang. Dia dihukum mati oleh Jepang, tapi berkat intervensi Soekarno vonis itu tidak dilaksanakan. Bung Amir telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Presiden Soekarno. Turun dari kereta api dia tampak lelah dan kurus. Jelas dia telah disiksa oleh kempetai Jepang. Dia tidak dapat memberikan keterangan apa-apa kepada wartawan yang datang, cuma satu orang. Dia langsung pulang ke rumah istrinya di Jalan Merbabu. Saya ikuti dia ke sana. Dia tetap tidak mau bicara. Kecuali bertanya "Saudara dulu ada di mana?" Saya jawab "Saya orang biasa, Bung". Segera dia bertugas sebagai Menteri Penerangan. Pada 4 Oktober diselenggarakan konferensi pers pertama dengan koresponden luar negeri yang telah datang di Jakarta. Diceritakannya pengalamannya dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang. Dengan tegas disimpulkannya: "Semua itu menunjukkan cerita-cerita orang di luar bahwa pemerintahan RI adalah boneka Jepang sama sekali tidak benar". Saya terkesan mendengar kefasihan dia bicara dalam bahasa Inggris.
Tak Banyak Bicara
Pada hari yang sama di kediaman Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menerima para koresponden luar negeri, yang pada waktu itu berpakaian seragam militer dan di pundak ada badge war correspondent. Soekarno didampingi oleh beberapa menteri, seperti, Menlu Subardjo, Mendagri Wiranatakusuma, Menteri Perekonomian Surachman, Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Menteri Kehakiman Soepomo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang pakai celana pendek, kaus kaki panjang, gaya uniform Marsekal Lord Wavell. Dia tidak banyak bicara. Yang menjawab pertanyaan Presiden Soekarno
Pada 10 Oktober, Tiongkok merayakan peringatan Kuomintang. Di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Lapangan Banteng (di zaman Belanda Hooggerechtshof, Mahkamah Agung) Bung Amir berpidato tanpa teks yang dipersiapkan. Dia bicara lancar, menarik, karena merujuk pada fakta-fakta sejarah. Salah satu sound bite diutarakannya ialah "Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai keadilan dan kemakmuran".
Kami berada di Yogya pada 10 November 1945 di Gedung Sociteite, tempat diadakannya Kongres Pertama Pemuda Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden hadir, juga Menteri Penerangan. Pukul 10.00 di- terima telepon interlokal dari Surabaya yang mengabarkan "Inggris telah mulai membom". Sumarsono, pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), segera menginstruksikan agar delegasi Jawa Timur meninggalkan ruangan dan kembali ke front. Bung Amir mendekati saya dan berkata "Pergilah ke Surabaya. Beritakan pertempuran di situ". Itulah sebabnya saya dan rekan Mohammad Supardi dari Merdeka dengan naik kereta api yang membawa amunisi berangkat meliput pertempuran di Surabaya.
Saya lihat Bung Amir bersama Dr Ak Gani menyambut kedatangan delegasi Belanda di Pelabuhan Cirebon pada November 1946. Ketua Komisi Jenderal Belanda mantan PM Schermerhorn dan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sedang dalam perjalanan ke Linggajati di mana sudah menunggu PM Sutan Sjahrir. Saya tidak dapat bicara dengan Bang Amir waktu itu. Saya bukan wartawan, melainkan ditunjuk oleh pemerintah menjadi ajudan Lord Killearn, sehingga sibuk melayani diplomat Inggris yang jadi mediator perundingan Linggajati. Karena Sjahrir menolak tuntutan Belanda supaya menyetujui pembentukan gendarmerie yang bertanggung jawab atas keamanan dan di- kepalai oleh jenderal Belanda, sedangkan di pasal-pasal politik dia telah memberikan konsesi, terjadi krisis yang menyebabkan Sjahrir mengembalikan mandatnya. Amir Sjarifoeddin tampil sebagai PM pada 3 Juli 1947, tapi dalam kabinetnya Masyumi tidak ikut serta. Atas saran Soekarno, Bung Amir memasukkan orang-orang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) seperti Wondoamisano, Arudji Kartawinata ke dalam kabinet dan dengan begitu Masyumi terpecah-belah. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, saya diminta datang ke Yogya untuk menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Bung Amir. Saya dengarkan uraiannya bahwa dia membutuhkan backing politik golongan Islam terhadap kabinetnya dan karena itu memasukkan PSII ke dalamnya. Tak lama setelah saya balik ke Jakarta, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik.
Kapal Perang
Kesempatan berikut saya melihat Bung Amir ialah di kapal perang Amerika Renville, yang berlabuh di Tanjung Priok di mana diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Bung Amir sedang bercakap-cakap dengan Profesor Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang jadi perantara dalam perundingan Renville, Desember 1947 dan berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Waktu bercakap-cakap dengan Graham di geladak Renville, Bung Amir memegang sebuah Kitab Injil. Reaksi partai Masyumi dan PNI terhadap teks perjanjian Renville yang telah ditandatangani oleh PM Amir Sjarifoeddin menimbulkan krisis kabinet. Bung Amir mengembalikan mandat dan kabinetnya digantikan oleh kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948. Sejak itu Bung Amir hilang dari layar radar pengamatan saya. Dari pedalaman datang berita mengenai oposisi keras dari Sayap Kiri yang kemudian menjelma sebagai FDR (Front Demokrasi Rakyat) terhadap kabinet Hatta. Bung Amir aktif di dalamnya. Pada 11 Agustus, Suripno yang mewakili RI di Praha, bersama seorang "sekretaris" terbang dari Bukittinggi ke Yogya dan beberapa hari kemudian mengungkapkan bahwa "sekretaris" itu ada- lah Musso, gembong PKI yang sudah lama bermukim di Uni Soviet.Dengan cepat Musso membubarkan FDR, membentuk PKI. Bung Amir memberikan pengakuan publik bahwa sejak 1935 dia bergabung dengan "Partai Komunis Ilegal" yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada 1936. Lalu Setiadjit, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid, juga mengaku mereka adalah komunis.Pada 18 September 1948 dipimpin oleh Sumarsono pecah pemberontakan PKI di Madiun. Akibatnya, Soekarno-Hatta bertindak tegas terhadap PKI. Musso ditembak mati ketika melarikan diri. Bung Amir bersama Maruto Darusman ditangkap, kemudian menjelang akhir tahun dieksekusi di sebuah desa dekat Solo. Bung Amir tewas dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah menyanyikan lagu "Internationale", dalam usia 41 tahun, masih muda. Apakah Bung Amir komunis? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Bung Sjahrir yang menjawab "tidak". Tapi, Sjahrir tidak memberikan alasan mengapa dia menjawab begitu. Bagaimanakah Bung Amir waktu masih studen Rechts Hoge School di Batavia? Tanya saya kepada Dr Abu Hanifah, yang satu asrama dengan Bung Amir. Dijawabnya "Amir itu seniman. Di kamarnya dia suka main biola menggesek lagu-lagu klasik. Pada waktu itu karena pengaruh guru besarnya Profesor Schepper dia sedang tekun membaca Injil, sebagai orang yang semula Islam berganti agama memeluk Kristen. Tidak ada tanda-tanda dia tertarik pada komunisme". George McTurnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifoeddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville". Dia merasa ditinggalkan oleh AS yang katanya jago demokrasi itu. Tapi, keterangan lain yang saya dengar waktu itu sebabnya Amir menyatakan dirinya komunis adalah untuk tetap bisa berperan sentral di pentas politik, berada at center stage. Mana yang benar, siapa yang tahu? Bung Amir telah membawa sebuah misteri ke alam kubur. Orang boleh mengadakan kajian psiko-analisis dan mungkin di situ bisa diperoleh jawaban untuk menerangkan perilaku Bung Amir. Di mata saya, sebagai wartawan muda di zaman revolusi, Bung Amir adalah seorang nasionalis, idealis, tapi bersamaan juga tragis.
Penulis adalah wartawan senior
Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY
Wednesday, November 26, 2008 at 4:51am

Senin, 25 Februari 2013

Bertemu dengan Ilyas Karim


Minggu, 04-09-2011 11:03:27 oleh: Dasman Djamaluddin Kanal: Peristiwa sumber:http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=19293&post=1
Sabtu sore sekitar pukul 17 WIB, tanggal 3 September 2011, tergerak hati saya untuk menemui Ilyas Karim yang mengaku salah seorang pengibar bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumahnya Jalan Rajawati Barat Kalibata no.7 Jakarta Selatan. Semua orang sudah tentu tahu, bahwa rumahnya tidak seperti dibayangkan, hanya sebuah rumah sederhana di pinggiran rel kereta api, di mana disitulah tinggal seorang Pejuang 45 berpangkat Letnan Kolonel (Purn).
Saya menelusuri jalan itu dan menemui Ilyas Karim sedang duduk di beranda rumahnya. Baru pertama kali saya bertatap muka dengan beliau. Usianya sudah tidak muda lagi, 84 tahun akunya. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 31 Desember 1927. Meskipun demikian, tubuhnya masih sehat dan daya ingatnya masih kuat. "Sebegitu pentingkah orang ini?," tanya saya dalam hati. Rupanya Ilyas Karim sedang dilanda hujatan karena mengaku sebagai orang yang berpakaian putih-putih pada waktu mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan mengibarkan bendera itu bersama chudancho Singgih. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pendapat beberapa orang atau sumber yang mengatakan kedua orang itu adalah chudanco Abdul Latief Hendradiningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Lha mana yang benar?
Ketika saya berkunjung itu saya tidak melihat siapa yang benar. Tetapi buat saya Ilyas Karim adalah sumber pertama yang masih hidup. Di dalam penelitian, kita selalu memakai sumber pertama dan kedua. Biasanya sumber pertama lebih kuat dari pada sumber kedua. Tetapi kali ini entahlah. Bagaimana pun memang harus melalui proses. Sehingga dalam ilmu penelitian tidak ada istilah meluruskan. Jika istilah ini dipakai maka selesailah proses penelitia itu karena ada pengklaiman pembenaran oleh seseorang. Di dalam proses penelitian yang terjadi adalah penemuan-penemuan sumber yang baru. Bisa saja yang dikatakan benar hari ini akan digugurkan oleh penemuan baru berikutnya dan berikutnya. Jadi tidak ada istilah pelurusan.
Ilyas Karim adalah Pejuang 45. Sejak tahun 1936, ia sekeluarga pindah ke Jakarta. Ayahnya pernah menjabat Demang (Camat) Matraman Jakarta, namun di Zaman Jepang, ayahnya ditangkap, dibawa ke Tegal dan dibunuh Jepang di sana. Sebelum bulan Agustus 1945, Ilyas Karim bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Jalan Menteng 31 Jakarta. Masuk TNI-AD dan pensiun dengqn pangkat Letnan Kolonel. Pernah ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian di Lebanon dan Vietnam. Beliau sekarang adalah juga Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI) yang bermarkas di Komplek Kodam Jaya Jatiwaringin. Melihat perjuangannya selama ini saya belum menyimpulkan apakah yang dikatakan Ilyas Karim benar atau salah. Saya hanya melihat dari sisi sumber pertama yang masih hidup. Sejarahlah nanti yang bisa membuktikan siapa pengibar bendera Merah Putih sebenarnya.
----------------------------
Sdr Dasman Djamaluddin M.Hum adalah Sejarawan UI yang juga menyandang profesi Sarjana Hukum. Sangat berminat sekali ihwal Ilyas Karim terutama yang terkait kontroversi pengibar bendera Proklamasi agar di seminarkan. Semoga terlaksana. Foto diatas sdr Dasnan ketika sedang meneliti bersama Sdr Edi Suardi M.Hum direktur Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta.

Jumat, 22 Februari 2013

Kontroversi Pengibar Bendera 17 Agustus 1945


Karena Suhud (foto tengah) saat Proklamasi dibuat dari belakang, cirinya yang tidak bisa tertukar dengan Ilyas Karim (foto kiri) adalah tinggi lehernya. Ilyas karim memiliki tinggi leher yang pendek, sedangkan Suhud tinggi lehernya panjang. Sehingga pada foto kanan (foto pendamping Latif Hendraningrat pengibaran bendera saat Proklamasi) tidak mungkin Ilyas Karim...Itu adalah Suhud. Bayangkan kalau itu Ilyas Karim maka dari belakang lehernya tidak kelihatan.

Senin, 18 Februari 2013

Charles Breijer telah tiada

tanggal 18 Agustus 2011, satu hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 66, Charles Breijer meninggal dunia. Siapakah Charles Breijer sehingga begitu penting dikaitkan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia ? Ya demikianlah...karena selain sebagai saksi hidup, warga negara Belanda ini sejak tahun 1947-1953 banyak terkait pada pembuatan film dokumenter yang dibuatnya tentang Indonesia. Dia dilahirkan dikota den Haag pada tanggal 26 November 1914 dan meninggal di kota Hilversum tanggal 18 Agustus 2011. Sebagai pemotret profesional, banyak foto peristiwa perang dunia kedua yang disumbangkannya pada media pers pada periode dimaksud. Tapi yang juga cukup penting dirinya adalah seorang sineas yang terkenal saat itu. Memulai karirnya pada tahun 1937 sebagai pemotret dari perusahaan persurat kabaran Arbeiderspers. Pada tahun 1947 bersama Cas Oorthuys dia pergi ke Indonesia dan membuat banyak film dokumenter propaganda bagi kepentingan pemerintah Belanda atas penugasan JC Mol. Film inilah yang antara lain sekarang banyak dipergunakan TV Indonesia dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa periode revolusi 1945-1949. Tentu saja akibatnya sedikit sekali informasi sebenarnya tentang apa siapa dan bagaimana yang terjadi dipihak RI. Tapi bolehlah kita mengetahui melalui buah tangan Breijer soal Linggarjati, Renvile atau KMB misalnya. Tapi yang sedikit istimewa adalah peranan Breijer setelah penyerahan kedaulatan 1949 misalnya. Banyak foto atau film yang dibuatnya tentang Bung Karno. Dia mengikuti perjalanan Bung Karno tahun 1950 ke India dan membuat foto tentang peristiwa tersebut. Foto dimana Bung Karno memboncengi Bu Fatmawati dengan sepeda yang terkenal itu, dibuat oleh Breijer. Ini bisa dilihat pada koleksi Foto Museum.

Minggu, 17 Februari 2013

Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945

Telah terbit sebuah buku yang amat baik dan perlu untuk dibaca dan diketahui masyarakat yaitu tentang Bapak Abdul Latief Hendraningratr, sang pengibar bendera pusaka pada tanggal 17 Agustus 1945. Buku ini diterbitkan oleh Sinar Harapan dan penulisnya adalah DR Nidjo Sandjojo M.Sc. Persoalan peristiwa sekitar Proklamasi amat menarik untuk diketahui karena merupakan peristiwa penting awal Bangsa Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka dimana tidak beberapalama lagi terbentuklah Negara Republik Indonesia . Seperti tertulis pada halaman 122-123: Sedangkan pelaku pengibar bendera pusaka tersebut adalah Abdul Latief Hendraningrat yang dibantu seorang pemuda dari barisan pelopor bernama Soehoed, dan fakta itu tidak akan pernah hilang sepanjang masa. Sebab itu jika ada nama-nama selain kedua nama tersebut yang mengaku sebagai pengibar bendera pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, adalah tidak benar. Buku ini sudah bisa didapat pada toko-toko buku.


Sabtu, 16 Februari 2013

Menyambut 66 tahun Kemerdekaan bangsa Indonesia

Selesai membacakan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, Bung Karno maju kedepan beberapa langkah lalu berteriak "Merdeka...Merdeka" Para hadirinpun berteriak "Merdekaaa". Ya hari itu pada 66 tahun yang lalu Bangsa Indonesia bukan bermimpi tapi benar-benar mengalami peristiwa kemerdekaannya. Bangsa Indonesia dari Barat sampai ke Timur lepas dari penjajahan. Kita sangat pantas menghargai kemerdekaan itu saat itu dan hari-hari kemudian...sampai sekarang. Saat ini Bangsa Indonesia sedang bermuram durja, karena soal Nazaruddin, politik dalam negeri tidak jelas, banyak orang bicara sembarangan, sementara di Papua terjadi gejolak. Bagaimana daerah lain ? Kita kok jadi pesimis kalau terjadi perpecahan Bangsa ? Tidakkah ada jalan terbaik untuk mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia ini....maksudnya masih dalam batas wilayah Sabang sampai Merauke ? Sebuah pertanyaan yang berat bagi mereka yang tidak mengalami semangat zaman awal Kemerdekaan itu sendiri. Sambutlah hari Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 2011 dengan optimisme. Pilihlah pemimpinmu yang berwibawa dan bertanggung jawab....

Jumat, 15 Februari 2013

Seorang Perwira dan Intelektual


Obituari
MAJALAH TEMPO 25 Oktober 2010

Kepergian Letnan Jenderal Himawan Soetanto merupakan kehilangan besar bagi bangsa dan Tentara Nasional Indonesia. Dia bukan hanya seorang perwira yang piawai bertempur di medan perang, melainkan juga seorang intelektual dan penulis sejarah militer yang andal.
Sebenarnya, pada 6 Oktober 2010 keluarga Soesilo Soedarman, yang merupakan adik ipar Pak Him-panggilan akrab Himawan Soetanto-dan keluarga Himawan Soetanto berencana mengadakan kunjungan ke Museum Peta di Bogor.
Di dalam museum tersebut terdapat lemari ekshibisi khusus dari almarhum Jenderal Mayor Mohamad, Daidancho Peta pada 1943-1945 dan Panglima Militer Jawa Timur yang pertama. Mohamad, bekas Residen Lampung tahun 1950-an, adalah ayah Pak Him dan mertua Soesilo Soedarman.
Manusia boleh berencana, Allah yang menentukan. Pada 2 Oktober 2010, Pak Him mengalami demam tinggi sehingga sempat mengigau. Beliau kemudian dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto, rumah sakit tempat dia biasa melakukan cuci darah. Sejak itu dia dirawat di Paviliun Kartika kamar 209, sampai wafat pada 20 Oktober 2010 pukul 9 kurang 5 menit dalam usia 81 tahun.
Pak Him dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, dengan upacara militer. Pelepasan jenazah di RSPAD Gatot Soebroro dilakukan oleh KSAD Jenderal George Toisutta. Sejumlah kerabat, handai-taulan, dan teman seperjuangan hadir mengiringi jenazah ke pemakaman.
Saya teringat pengalaman berkunjung ke Belanda bersama Pak Him pada akhir Agustus 1996. Kami diundang Divisi 7 Desember Belanda yang merayakan ulang tahun ke-50. Dari Indonesia hadir 50 veteran Siliwangi berpangkat mayor sampai letnan jenderal. Perayaan berlangsung di Kampemen Jenderal Spoor di Ermelo, sebuah desa dekat Kota Apeldorn.
Pak Him saat itu sudah pensiun dengan jabatan terakhir Kepala Staf Umum ABRI pada 1984. Setelah itu, dia menjadi duta besar di Malaysia pada 1984-1988. Selanjutnya, pada 1993-1998, Pak Him menjadi Ketua Kwartir Nasional Pramuka.
Dalam pertemuan besar di bawah tenda yang mampu menampung 1.000 pengunjung, rombongan veteran Siliwangi bertemu dengan veteran Belanda dari Divisi 7 Desember. Aneh bin ajaib, mereka justru saling rangkul dan memperlihatkan foto kenangan. Saat itu untuk pertama kali saya mendengar istilah "Wapens Bruder", artinya sesama bekas pejuang bersenjata.
Pak Him merupakan perwira yang kenyang dengan penugasan militer. Saat terjadi agresi militer Belanda II, 19 Desember 1948, dia baru menyelesaikan akademi militer dan mendapat penempatan di Jawa Timur.
Ketika menunggu di atas kereta api yang akan ke Mojokerto, tiba-tiba terjadi serangan Belanda. Tanpa arah yang jelas, akhirnya dia ikut rombongan pasukan Siliwangi yang melakukan long march ke Jawa Barat. Pada 1949, Pak Him menjadi perwira Siliwangi dalam Batalion Nasuhi.
Selama di Jawa Barat, karier militer Pak Him terus menanjak. Sekitar 1960-an, dia menjadi Komandan Batalion 330 Kujang. Saat itu dia ikut operasi penumpasan DI/TII Kartosoewirjo. Selanjutnya menyambung ke Sulawesi dalam penumpasan DI/TII Kahar Muzakar. Batalion 330 bertugas menumpas gerombolan Andi Sele.
Saat meletus peristiwa Madiun pada 1948, dia masih kadet Akademi Militer Yogya. Tapi belakangan, saat menjadi Panglima Siliwangi, rupanya dia banyak mendapatkan informasi tentang sepak terjang Brigade I dan II Siliwangi dalam penumpasan PKI Madiun.
Berkat ilmu sejarah yang dipelajari di Universitas Indonesia, Pak Him menulis buku tentang peristiwa tersebut. Buku pertama dicetak oleh penerbit Sinar Harapan. Belakangan buku revisi yang merupakan tesis magisternya dicetak dan diterbitkan pada 2004.
Isi bukunya amat menarik karena menceritakan strategi operasi penumpasan pemberontakan, termasuk pengejaran pasukan pemberontak yang lari ke arah utara. Pak Him kemudian melanjutkan buku keduanya tentang Agresi Militer Belanda II. Dia menemukan dokumen penting kejadian ini, yaitu Perintah Siasat Pak Dirman No.1. Dari situ ditulislah buku berjudul Yogyakarta 1948 dan Jenderal Soedirman Versus Jenderal Spoor.
Rushdy Hoesein, peneliti sejarah
__________________________
Foto: Kunjungan terakhir Pak Him ke Belanda tahun 2007. Ini adalah rombongan Sejarah Militer Indonesia atas undangan Institut Sejarah Militer Belanda. Pak Him baris pertama no.2 dari kanan. Kami berfoto dimuka KMA Breda. Akademi Militer Belanda yang sangat bergengsi dikota Breda Nederland. Disebelah Pak Him, Brig,Jen Agus saat itu Ka.Pus Sejarah TNI. Paling ujung kiri Kolonel Aris dari Dinas sejarah TNI AL. Ditengah baris depan Brig.Jen Soesanto dari LVRI. Saya berdiri paling kanan dibaris belakang bedampingan dengan Laks.Ma Urip Santoso selaku ketua rombongan. Tampak juga Pak Agiet sekretaris Pak Him, Ibu Soesanto, staf KBRI dan Ditengah baris kedua Kolonel Van de Akers dari KMA bersama seorang staf Institut yang saya lupa namanya. Sungguh sebuah kunjungan yang amat mengesankan....

Kamis, 14 Februari 2013

Heboh Lagu 'Indonesia Raya'


Sebuah yayasan yang menekuni teknologi informasi dari hasil penjelajahan di internet menemukan video tentang lagu Indonesia Raya dari hasil penjelajahan di internet. Rekaman yang diklaim sebagai versi awal, konon kabarnya dibuat masa pendudukan Jepang tahun 1944. Versi tersebut berisi tiga stanza (kuplet) berdurasi tiga menit 49 detik. Penemuan ini menimbulkan kehebohan, apakah lagu Indonesia Raya yang kita kenal selama ini dan dilagukan dalam berbagai kesempatan merupakan karya cipta yang palsu? Atau apakah dokumen yang ditemukan itu merupakan versi asli dari lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman? Jadi isunya menyangkut dua hal, yakni keaslian video yang ditemukan itu dan lirik lagu Indonesia Raya. Berita ini kian hangat karena disampaikan melalui televisi termasuk infotainment oleh pakar telematika Roy Suryo yang sering diminta konfirmasinya dalam kasus keaslian video gosip artis/pejabat. Pada 7 Agustus 2007 di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta diputar film yang pernah ditayangkan dalam acara Hari Ini Dalam Sejarah TVRI 28 Oktober 1984. Mona Lohanda, kini Deputi Kepala ANRI yang menangani acara itu tahun 1980-an mengatakan bahwa dokumentasi itu dibuat berdasarkan film yang diserahkan oleh pihak Belanda tahun 1983. Film itu merupakan bagian dari propaganda yang dibuat produsen film Jepang dan disita oleh Belanda ketika kembali ke Indonesia tahun 1945. Film itu menggambarkan suasana sebelum Indonesia merdeka. Ada foto Soekarno dan tokoh masyarakat seperti ulama yang berpidato menggugah semangat rakyat. Pemuda, anak sekolah dan tentara (yang bertelanjang dada) berbaris dan melagukan Indonesia Raya. Menurut Kepala ANRI Djoko Utomo dokumen yang mereka terima dari Belanda terdiri dari tiga bagian, yakni film tanpa suara, suara tersendiri dan yang ketiga, gabungan antara gambar dan suara. Yang menjadi tanda tanya, mengapa dalam film tersebut terdapat kata merdeka, merdeka bukan moelia, moelia. Apakah pemakaian istilah ini dibiarkan saja oleh Jepang. Jawabannya diberikan oleh dokter yang sekaligus sejarawan Rushdy Hoesein bahwa ada dua film yang dibuat ketika itu yakni Menjelang Indonesia Merdeka tahun 1944 dan Indonesia Raya tahun 1945 (kemungkinan Maret atau April). Dalam film yang pertama terdapat pidato Koiso (Perdana Menteri Jepang) yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Soekarno mengucapkan terima kasih (dan juga menginsyafi bahwa itu baru janji). Untuk mencapainya rakyat harus bekerja keras. Saat itu dalam film tersebut lagu Indonesia Raya masih menggunakan kata moelia, moelia. Perkembangan situasi politik yang kian panas menyebabkan Jepang akhirnya menoleransi penggunaan kata 'merdeka, merdeka' dalam film Indonesia Raya yang dibuat tahun 1945. Tampaknya film yang kedua itu yang dimiliki oleh ANRI. Film itu berdurasi 15 menit, sedangkan video yang ditemukan oleh Roy Suryo dengan gambar yang sama, tetapi kualitas yang lebih buruk boleh dikatakan potongan dari film ini karena berdurasi hanya sekitar tiga menit. Yang menarik pula informasi yang disampaikan Rushdy Hoesein bahwa majalah Time terbitan awal Desember 1946 memuat laporan khusus tentang Indonesia. Wartawan majalah ini mendengarkan kemiripan nada lagu Indonesia Raya dengan lagu Hoola Boola, lagu masyarakat Hawaii yang pada tahun 1920-an menjadi lagu kampus Yale University. Kemiripan tentu boleh saja karena lagu kebangsaan Malaysia misalnya, juga mirip lagu Indonesia Terang Bulan. Kita ketahui bahwa lagu Indonesia Raya telah ditampilkan oleh WR Supratman dalam Kongres Pemuda 29 Oktober 1928 dengan menggunakan biola. Alat musik itu kini disimpan pada Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Karena ia juga wartawan Sin Po, lagu itu juga telah dimuat pada koran tersebut tanggal 27 Oktober 1928. Saya melihat keanehan dalam fotokopi dokumen yang ada pada ANRI karena pada terbitan harian Sin Po pada 27 Oktober 1928 itu ditulis bahwa lagu itu telah dinyanyikan pada 28 Oktober 1928. Namun beberapa waktu kemudian beberapa surat kabar lain juga memuat tentang lagu tersebut. Dalam suasana zaman penjajahan Belanda di mana intel penjajah mengintai di mana-mana, maka Supratman memang menulis lagu dengan agak menyamarkan liriknya, misalnya ia memakai Indones yang mengaju kepada Indonesia, moelia untuk mengganti kata merdeka. Sebuah informasi yang perlu diverifikasi lagi menyebutkan bahwa lagu Indonesia (Raya) itu dijadikan piringan hitam oleh Firma Tio Tek Hong tahun 1929. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan negara Lokananta di Surakarta juga membuat piringan hitam lagu-lagu ciptaan WR Supratman. Tidak jelas apakah dalam lagu itu juga terdapat lagu Indonesia Raya. Lokananta kini sudah tutup, tetapi Perusahaan Percetakan Negara Republik Indonesia (PCNRI) cabang Surakarta mengatakan bahwa mereka masih memiliki 883 kopi lagu Indonesia Raya dalam bentuk piringan hitam yang direkam oleh Lokananta. Pada rekaman itu selain dari nyanyi Indonesia Raya tiga stanza juga ada lagu intrumentalia. Pada 1944 terbentuk Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia yang diketuai Soekarno dengan anggota antara lain KH Dewantara, Koesbini, KH Mas Mansur, M Yamin, Sanusi Pane, C Simandjuntak, Ahmad Subardjo. Panitia ini pada 8 September 1944 menetapkan (i) apabila lagu Indonesia dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangan (refrain)-nya dinyanyikan dua. Apabila dinyanyikan tiga kuplet, maka ulangannya satu kali kecuali pada kuplet ketiga sebanyak dua kali. (ii) Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. (iii) Perkataan semua diganti dengan sem'wanya, not ditambah dengan do. 4) Perkataan refrein diganti ulangan. Pada tanggal itu juga ditetapkan perubahan lagu Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Hanya saja pada umumnya lagu itu diperdengarkan satu kuplet saja, sehingga orang tidak terbiasa mendengar kuplet kedua dan kuplet ketiga lagu tersebut. Pada 26 Juni 1958 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 44 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Peraturan ini dikeluarkan karena dianggap perlu untuk menetapkan ''nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan dari lagu tersebut dan cara penggunaannya''. Pada lampiran peraturan pemerintah itu diterakan lagu Indonesia Raya seperti yang kita kenal sekarang, terdiri dari tiga kuplet. Apabila diiringi dengan alat musik, maka lagu itu hanya dinyanyikan satu strofe dengan dua kali ulangan. Tanpa alat musik, lagu ini bisa dinyanyikan satu bait atau tiga bait. Lagu kebangsaan tidak boleh dinyanyikan pada waktu dan sembarangan tempat. Bahkan pada Pasal 8 juga dicantumkan 'Lagu Kebangsaan tidak boleh diperdengarkan dan atau dinyanyikan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lain dari pada yang tertera dalam lampiran-lampiran peraturan ini'.
Tidak usah membuat undang-undang
Mengenai lagu kebangsaan ini tidak ada kontroversi karena sudah ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tahun No 44 Tahun 1958. Kalau ada temuan baru mengenai lagu Indonesia Raya itu merupakan dokumen tambahan yang berharga bagi penulisan sejarah lagu kebangsaan. Namun lagunya sendiri tidak akan berubah atau diubah. Perubahan itu telah dilakukan sebuah tim yang dipimpin oleh Ir Soekarno tahun 1944. Kalau sedikit kontroversi itu hanya menyangkut ahli waris W Supratman. Setelah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan tahun 1958, maka pemerintah perlu membayar copyright penulis lagu tersebut. Salamah yang pernah menjadi pembantu rumah tangga Supratman mengaku pernah menikah dengannya. Di dalam sidang di pengadilan negeri Surabaya ditetapkan empat saudara perempuan Supratman yang masih hidup ketika itu sebagai ahli waris dan perkawinan Salamah dengan Supratman tidak terbukti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1960 menyerahkan uang sebanyak Rp250.000 kepada keempat ahli waris tersebut. Tahun 1970 WR Supratman yang meninggal 17 Agustus 1938 dalam usia 35 tahun itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tahun 1999, dikeluarkan uang pecahan Rp50.000 memakai gambar WR Supratman. Pada tahun itu juga diadakan pemugaran rumah dan makam WR Supratman di Surabaya atas biaya pemerintah daerah dan dibantu oleh Bank Indonesia. Penemuan video tentang lagu Indonesia Raya di Leiden itu dapat menambah dokumen tentang sejarah lagu kebangsaan namun tidak akan mengubah lagu itu sendiri yang sudah ditetapkan dengan peraturan pemerintah pada 1958.
Heboh soal lagu Indonesia Raya mendorong kalangan DPR untuk menyusun RUU Lagu Kebangsaan. Menurut hemat saya, tidak usah membuat undang-undang baru lagi, karena Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1958 itu sudah rinci. Kecuali kalau ada anggaran berlebih.(Penulis: Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI, Mediaindonesia.com)

Rabu, 13 Februari 2013

Belum Ada Kapolri Sehebat Hugeng (Jujur dan Amanah)

Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain: Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. ” Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.,Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.,Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500! sampai akirnya beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30. Bagaimana dengan polisi sekarang…..banyak isu untuk naik pangkat harus nyogok, masuk polisi hatus nyogo….k. pecahkan msalah dapat sogokan….jadi becking….orang bilang polisi itu seperti sapu sebagai tukang kebersihan yaitu menegkkan hukum positif dinegeri ini tetapi…sapunya kotor jadi lantai kotor disapu dengan sapu kotor jadi ngak bersih-sersih…..kasus gayus, kasus bibit candra, kasus anggodo……..sungguh memilukan bagi polri

Senin, 11 Februari 2013

Kenangan Bersama Pak Himawan


.
Oleh: Rushdy Hoesein
Pesawat garuda jurusan Amsterdam siap berangkat sore hari menjelang magrib meskipun setengah terlambat. Tidak tahu kenapa pesawat penerbangan milik Indonesia ini terbang lebih dahulu ke Bali, ke Medan baru terbang ke negeri Belanda. Didalamnya terdapat kurang lebih 50 orang veteran Indonesia dari Jakarta dan Bandung. Rombongan veteran Siliwangi ini diundang oleh Divisi 7 Desember Belanda pada akhir bulan Agustus tahun 1996 yang merayakan ulang tahunnya ke 50. Perhelatan besar bekas musuh pihak TNI di Jawa Barat ini berlangsung dikampemen jenderal Spoor di Ermelo yaitu sebuah desa dekat kota Apeldorn. Rombongan yang sebagian besar adalah perwira pesiunan yang terdiri dari 3 Let.Jen, 2May.Jen, 2 Brig.Jen dan sisanya Kolonel, Let.Kol dan Mayor purnawirawan, dipimpin oleh Let.Jen (purn) Himawan Soetanto. Pak Him saat itu sudah pensiun dengan jabatan militer terakhir pada tahun 1984. sebagai Kepala Staf Umum (KASUM) ABRI. Setelah sebagai Duta Besar di Malaysia tahun 1984-1988, tahun 1993-1998, Pak Himawan menjabat ketua Koarnas Pramuka. Dalam rangka ke Belanda ini sebagai pimpinan rombongan rupanya Pak Himawan telah berangkat lebih dahulu ke Den Haag beberapa hari sebelum kami. Kami bertemu beliau setelah rombongan di Belanda. Saya sendiri saat itu selaku pecinta sejarah militer diikut sertakan oleh organisator rombongan May.Jen RAH Saleh. Inilah untuk pertama kali saya bertemu Pak Himawan. Dalam pertemuan besar dibawah tenda yang mampu menampung 1000 pengunjung , rombongan Siliwangi berhadapan dengan veteran Belanda dari Divisi 7 Desember. Sebagi pengamat saya memprediksi, pasti ada apa-apa. Tapi aneh bin ajaib justru terjadi rangkul merangkul dan saling memperlihatkan foto kenangan. Saat itu untuk pertama kali saya mendengar “Wapens Bruder” artinya sesama bekas pejuang bersenjata. Setelah pimpinan Divisi Belanda aktif Jenderal Strick berpidato, Pak Him juga mendapat kesempatan berpidato. Dan masih banyak lagi acara-acara yang disuguhkan. Tapi tentu saja yang paling berkesan adalah suguhan keliling Belanda dengan bis yang beayanya dibebankan pada Divisi 7 Desember. Terus terang saja, banyak yang untuk pertama kali datang kenegeri kincir angin ini dan itulah mungkin kesan yang menempel sampai akhir hayat mereka.
Setelah peristiwa ke Belanda diatas kami, saya dan Pak Him sering kontak pribadi khususnya dalam rangka memperingati hari-hari besar nasional seperti 5 Oktober (hari TNI), 17 Agustus (hari Kemerdekaan), 10 November (hari pahlawan dsb). Bahkan untuk membina ikatan diantara veteran Siliwangi didirikan yayasan bernama ERMELO Grup. Juga organisasi ini dimaksud untuk untuk membina hubungan persahabatan Divisi 7 Desember dengan Divisi Siliwangi. Hasilnya, terjadilah saling kunjung lanjutan veteran Belanda ke Indonesia dan veteran Indonesia ke Belanda yang terjadi beberapa kali.
Pada suatu hari di tahun 1999, saya dihubungi May.Jen RAH Saleh yang mengajak mengikuti program S2 di Fakultas sastra UI jurusan sejarah. Ternyata ini bersama Pak Himawan soetanto juga. Jadi tahun ajaran 2000-2001 kami bertiga mengikuti program tersebut. Alhamdulillah pada tahun 2003 semuanya lulus dengan predikat sangat memuaskan. Waktu wisuda, Pak Himawan terpilih sebagai siswa tertua dan diminta mewakili teman-teman bersama lulusan termuda saat itu. Kami di wisuda di aula besar rektorat UI. Sungguh sangat membanggakan. Setelah itu kami boleh menggunakan gelar M.Hum (Magister Humaniora) dibelakang nama kami. Namun kebahagiaan itu rupanya tidak berjalan lama. Pak RAH Saleh ternyata dipanggil Rahmatulla lebih daulu. Tiba-tiba beliau sakit dan di rawat di RSPAD sampai akhir hayatnya.
Atas anjuran teman-teman saya melanjutkan pendidikan S3 di fakultas yang sama yang sudah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya jurusan sejarah. Pak Himawan rupanya juga berminat melanjutkan beberapa tahun kemudian. Tapi fisik beliau tidak fit lagi. Beberapa kali di rawat dan akhirnya harus cuci darah seminggu dua kali. Namun pujian selalu saya sampaikan karena semangatnya untuk berkarya sangat besar. Bayangkan dalam aktifitasnya sebagai tenaga ahli di Pusat Sejarah TNI, Pak Him memimpin penulisan beberapa buku tentang Sejarah Militer. Seperti diketahui pada waktu sebelumnya beliau telah menulis sejumlah buku antara lain, “Rebut Kembali Madiun”, Jenderal soedirman versus Jenderal Spoor”, Long March Siliwangi dan Biografi pribadinya.
Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2010 ini ada rencana keluarga Soesilo Soedarman yang merupakan suami dari adik Pak Him dan keluarga Himawan Soetanto berencana untuk mengadakan kunjungan keluarga ke museum PETA di Bogor. Sebagaiaman diketahui didalam museum tersebut juga ada lemari eksibisi khusus dari almarhum Jenderal Mayor Mohamad mantan Daidancho PETA tahun 1943-1945 dan merupakan Panglima Militer Jawa Timur yang pertama. Pak Mohamad mantan Residen Lampung tahun 50-an ini adalah ayah Pak Him dan mertua Pak Soesilo Soedarman.
Manusia boleh berencana, hanya Allah yang dapat menentukan. Tanggal 2 Oktober 2010 Pak Him mengalami demam tinggi sehingga sempat mengigau. Oleh karena itu beliau dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto yaitu rumah sakit yang secara tetap melakukan cuci darah. Sejak itu beliau dirawat di Pavilyun Kartika kamar 209. Tapi keadaannya bertambah parah sampai pada tanggal 15 Oktober 2010 terpaksa dirawat di ruang ICU. Saat itu kesadaran beliau sudah berangsur lemah dan pada tanggal 20 Oktober 2010 jam 9.00 kurang 5 menit beliau telah wafat sesuai dengan hasil pemeriksaan dokter. Selamat jalan sahabatku. Kita berdoa semoga beliau mendapatkan tempatnya disisiNya sesuai dengan amal ibadahnya. Dan kepada keluarga yang ditinggalkan kuat imannya atas percobaan ini. Amin.
Let.Jen Himawan Soetanto dimakamkan di makam Pahlawan Cikutra Bandung dengan upacara militer. Sejumlah kerabat, handai tolan dan teman seperjuangan hadir mengiringi jenazah dibawa kemakaman dan menyaksikan prosesi upacara pemakaman dengqn hikmat.

Minggu, 10 Februari 2013

Hotel Oranje



Ada pertanyaan dari sahabat saya Pak Bambang Hidajat soal "Hotel Oranje" di Surabaya, sekarang adalah Hotel Majapahit. Beliau menemukan foto menggambarkan hotel yang terkenal dalam peristiwa Bendera Surabaya tanggal 19 September 1945 itu, kok bisa muncul lagi pada sekitar tahun 50-an. Apa memang dikelola Belanda lagi ? Bung Hilmar Farid dan Prof Dr Firman Loebis mencoba menjawab dibawah ini :

Hilmar Farid.
Soal nama 'Oranje Hotel' setahu saya segera setelah perang Surabaya (sebelum 1949) hotel itu sudah balik ke tangan pemilik aslinya (yang ditahan Jepang). Nama resminya setahu saya diubah, tapi tulisan 'Oranje Hotel' dipertahankan terus. Contoh yang mirip, Hotel des Indes. Setelah dinasionalisasi 1960 jadi Hotel Duta, tapi nama des Indes tetap melekat sampai lama. Di bagian depan juga ada tulisan 'Hotel des Indes', tapi saya nggak tahu apakah dibiarkan atau dihapus setelah ganti nama.

Firman Loebis.
Oranje hotel betul setelah Jepang kalah dan sekutu mendarat (yang diboncengi tentara Belanda) dikembalikan lagi ke pemiliknya yang sudah bebas dari tahanan Jepang. Kalau tidak salah, pemiliknya warga Belanda keturunan Armenia. Kan waktu peristiwa penyobekan warna biru dari bendera Belanda oleh para pemuda terjadi di hotel ini yang berkibar diatas bangunannya? Jadi sesudah kembali ke pemiliknya menggunakan kembali nama Hotel Oranje. Setahu saya di tahun 1950-an masih menggunakan nama Hotel Oranje seperti terlihat di foto tersebut. Foto itu saya kira dibuat sekitar tahun 1957, Bung Hilmar benar setelah Bung Karno mengeluarkan "conseptie"nya mengenai demokrasi terpimpin. Menarik melihat tulisan di foto itu yang "consepsi", sudah diindonesiakan tetapi masih pakai huruf c. Saya tidak ingat persis kapan nama Hotel Oranje itu diganti dengan Hotel Madjapahit, mungkin sesudah pengusiran warga Belanda tahun 1957/1958 akibat persengketaan Irian Barat yang memuncak dan hotel ini diambil alih. Saya pernah baca sejarah hotel ini di brosur yang disediakan di hotel Majapahit ini ketika menginap disini di akhir tahun 1980-an. Jadi bisa dimintakan brosur itu ke hotel Majapahit sekarang. Saya ingat, hotel ini didesain oleh arsitek yang sama dengan hotel Raffles di Singapura! Terlihat di dome ruang tengahnya yang memang mirip dengan yang di hotel Raffles. Arsiteknya memang bagus dan antik sekali menurut saya. Waktu menginap disini di kamar yang besar dan antik, saya diceritakan bahwa katanya ada hantu Belanda disitu. Karena saya sudah biasa "berurusan dengan hantu Belanda" (karena waktu remaja suka main ke kuburan kober Belanda di Menteng Pulo yang tidak jauh dari rumah saya di jalan Guntur), saya sih senyum saja. Saya pikir, paling juga dimaki sama itu hantu: "god verdom zeg jij inlander slapen in mijn kamer"! Kan gampang jawabnya: "emangnye waarom meneer, niet zo ah, kan wij udah merdeka". Sepasang suami isteri teman saya orang Amerika yang pernah menginap di hotel ini tahun 1970-an ternyata membeli beberapa peninggalan berupa piring/gelas/sendok dll. sisa hotel Oranje dengan logonya yang asli. Mereka membelinya di hotel ini (?) katanya dan dengan senang menceritakannya kepada saya.


.

Sabtu, 09 Februari 2013

Ketika Jepang Menyerah Tanpa Syarat


Sejarah kelasik yang difahami tentang kekalah Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 adalah akibat langsung 2 buah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Dengan perkataan lain setelah itu Jepang menyerah tanpa syarat. (foto 1/Bom Atom di Hiroshima). Sebenarnya yang terjadi pada tanggal 15 Agustus, bukan penyerahan Jepang dalam arti yang resmi, karena hal tersebut baru terjadi pada tanggal 2 September 1945 di atas kapal Amerika Serikat Misouri yang berlabuh di teluk Tokyo. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945 memang Pemerintah Jepang melalui duta besarnya di Swiss mengirim surat untuk mematuhi keputusan Postdam (Konperensi sekutu dikota Postdam). Berita yang dibuat oleh menteri muda luar negeri Jepang Shunichi Matsumoto ini antara lain berisi keterangan bahwa Hirohito sudah menandatangani naskah penerimaan deklarasi Postdam. Berita yang diterima di Indonesia dan kemudian dianalisa adalah berita tanggal 14 Agustus tersebut. Surat yang dikirim pemerintah Jepang ini merupakan sambungan saja dari surat tertanggal 10 Agustus 1945 di mana Jepang menawarkan diri untuk merundingkan penyerahan karena Hirohiti merisaukan perdamaian dunia. Keadaan di dalam negeri Jepang saat itu memang tidak menentu misalnya menjelang tanggal 15 Agustus 1945 telah terjadi percobaan kudeta yang gagal yang dilakukan para perwira muda pimpinan Let.Kol Takeshita, Mayor Hidemasa Koga dan Mayor Hatanaka. Kejadian tersebut dapat diantisipasi oleh kekuatan militer pro Kaisar. Karena merasa bertanggung jawab, Jenderal Anami selaku Menteri Angkatan Darat Jepang akhirnya melakukan bunuh diri. Pada jam 12.00 waktu Tokyo tanggal 15 Agustus 1945, Hirohito berbicara di radio tentang penerimaan deklarasi Postdam. Berita inilah yang resmi menghentikan Perang Asia Timur Raya. Pidato yang lebih dahulu direkam pada piringan hitam (gramofone) pada tanggal 14 Agustus 1945 ini dikenal sebagai pidato suci Hirohito berjudul "The Voice of the Crane". Amerika serikat selaku negara besar dalam jajaran sekutu menaggapi pernyataan Jepang itu sebagai reaksi akibat pemboman dengan teknologi mutahir hasil rekayasa para ahli Atom Nasional nya. (Foto 2/ terlampir memperlihatkan pemberitaan gedung putih tentang kekalahan Jepang ini oleh Presiden Truman). Berita kekalahan Jepang merupakan berita besar buat pemuda Indonesia guna meningkatkan perjuangannya. Terbayang di benak kelompok pemuda posisi Soekarno dan Hatta serta kelompok tua lainnya yang menjadi sulit karena seia sekata dan bersedia sehidup semati dengan Dai Nippon. Timbul asumsi-asumsi baru nasib bangsa Indonesia dan tanah airnya. Bakal jadi apa Indonesia ini ?. Perkiraan paling dekat tentu saja akan datangnya pihak sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat. Pendukung utama Atlantic Charter. Suatu bangsa yang yang mendukung demokrasi, hak sasasi dan kemerdekaan. Bukan hal aneh kalau para pemuda akan menyambutnya dengan slogan-slogan sebagaimana yang disebut dalam Atlantic Charter tersebut.Tapi rupanya waktu kedatangan tersebut tidak terlalu cepat karena adanya perubahan rencana Jenderal Mac Arthur yang tidak jadi melakukan invasi ke Indonesia. Dia berbelok langsung ke utara untuk mempercepat penaklukan negara induk Jepang. Tanggung jawab wilayah Asia Tenggara kemudian diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan sekutu lain yaitu dibawah pimpinan Laksamana Mountbatten. Padahal Mounbatten memiliki jumlah tenaga dan fasilitas transportasi yang terbatas.
Dalam wawancara film Ons Indie voor de Indonesiers, Jenderal Cristison pimpinan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) mengakui bahwa pasukan sekutu terlambat dua minggu sehingga baru bisa mendarat di Jawa pada awal September 1945. Untuk mengantisipasi terjadinya chaos didaerah vacum kekuasaan seperti halnya Indonesia, maka oleh SACSEA (Supreme Allied Command of South East Asia) yang dijabat Mount Batten, diterbitkanlan pengumuman bagi para pimpinan tentara Jepang yang didrop melalui pesawat udara. (gambar 3/Selebaran SEAC / South East Asia Command) Penguman berbetuk selebaran ini juga dimaksudkan bagi pengetahuan para tawanan bahwa “Jepang sudah kalah dan kini mereka merdeka.”. Lalu bagaimanakah sikap Indonesia ?. Vacum kekuasaan ini ternyata dimanfaatkan dengan baik untuk “memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945”…..

Kamis, 07 Februari 2013

Soekarno: Seorang "Quisling" Asia?


Kolom Jean van de Kok 11-10-2006
Kelompok kanan reaksioner Belanda selalu menganggap Soekarno seorang "quisling" yang menjual bangsanya kepada Jepang. Mereka inilah yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia selalu bergembar-gembor ihwal Soekarno sebagai "quisling" Asia.
Siapa Quisling?
Quisling adalah Perdana Menteri Norwegia yang selama perang dunia kedua bekerjasama dengan tentara Nazi Jerman yang menduduki negaranya. Ia menjadi lambang bagi mereka yang berkhianat, bekerjasama dengan musuh bangsanya sendiri. Dalam hal ini terutama musuh sekutu selama perang dunia kedua, yaitu poros fasis/nazi: Berlin, Roma dan Tokio. Sejak itu Quisling berubah dari nama seorang tokoh politik Norwegia menjadi kata umpatan bagi seseorang yang dianggap pengkhianat: ia adalah seorang "quisling".
Saya teringat hal ini ketika beberapa hari lalu diajak ngobrol oleh teman saya. Ia adalah putra seorang tokoh minoritas di Indonesia yang dekat sekali dengan keluarga Soekarno. Kami membicarakan buku yang baru terbit ihwal perisitiwa G-30S dan peran Soekarno dalam peristiwa ini. Penulisnya: Antonie Dake, judulnya Sukarno File, berkas-berkas Soekarno 1965-1967. Dengan penuh percaya diri Antonie Dake berkesimpulan: Soekarno adalah dalangnya, Soeharto adalah: "...pada waktu itu seorang komandan yang berpangkat agak bawahan dalam Angkatan Darat dan bersifat a-politik, setelah 40 tahun kemudian tidak dapat dibuktikan memiliki pengetahuan dini mengenai kudeta itu" (halaman 340). Antonie Dake adalah seorang Belanda yang sejak puluhan tahun tekun sekali meneliti peran Soekarno dalam peristiwa menyedihkan ini. "Monomaan" kata Belandanya, fanatik dengan dorongan mental yang kuat sekali. Hasil jerih payahnya ternyata laku juga di pasar buku Indonesia, demikian tukasnya dengan bangga, hanya saja keluarga bung Karno "not amuse" (tidak senang). Logis tentu saja, sikap Antonie Dake ini, demikian tukas teman obrolan saya tadi, mereka (orang Belanda) 'kan benci Soekarno, ketika ia jatuh dan digantikan Soeharto koran kanan Belanda de Telegraaf dengan huruf-huruf tebal menulis di halaman depannya : "Soekarno tabé".
Quisling AsiaSenang dan lega juga kelompok kanan reaksioner Belanda yang selalu menganggap Soekarno seorang "quisling" yang menjual bangsanya kepada Jepang. Mereka inilah yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia selalu bergembar-gembor ihwal Soekarno sebagai "quisling" Asia. Anehnya Mohammad Hatta, teman seperjuangan Soekarno yang selalu mendampingnya dalam menghadapi Dai Nippon, dianggap serius oleh Belanda, tak ada seorang pun di Belanda yang mencapnya "quisling". Dan ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949 , maka bukan Soekarno, sebagai presiden meneken perjanjian Konperensi Meja Bundar di Amsterdam bersama kepala negara Belanda Ratu Juliana, namun wakil presiden Mohammad Hatta. Belum saatnya seorang "Quisling Asia" datang di Belanda. Bisa geger, baik dalam parlemen maupun publik Belanda. Baik media maupun kelompok-kelompok kanan kolonial Belanda saat itu memfokus sikap anti RI mereka pada sosok Soekarno dan umpatan "quisling" itu sering mereka gunakan. Bahkan seorang politikus moderat seperti perdana menteri Belanda saat itu Willem Drees dari partai sosial-demokrat, Partai van de Arbeid, meragukan integritas Soekarno selama perang dunia kedua ketika Nusantara diduduki Jepang. Dengan kata lain, apakah Soekarno bukan seorang "quisling" dan kalau memang benar, maka kasian juga rakyat Indonesia yang akan dipimpinnya. Sikap frustrasi sementara kalangan di Belanda di masa silam terhadap Soekarno dampaknya justru perhatian yang berlebihan terhadap sosok presiden pertama ini. Menurut saya ini salah kaprah, menciptakan seorang dalang adalah meremehkan para pelaku dan korban yang dianggap boneka wayang ditangan sang dalang. Dan dalam kasus G-30S sang dalang adalah sosok yang menyeramkan, tanpa moral dan dengan tangan berlumuran darah. Dan citra itulah rupanya yang diinginkan oleh mereka untuk Soekarno, mereka yang masih merasa susah dalam menanggapi sang "quisling" Soekarno.
Keinginan SoekarnoLalu bagaimana sikap Soekarno sendiri terhadap Belanda? Media Belanda sering menunjuk pada keinginan Soekarno untuk berkunjung ke negara penjajah, dari generasi nasionalis pertama, Soekarno lah yang termasuk belum pernah bertandang ke Belanda. Hal ini juga ditulis seorang diplomat Belanda dalam memoarnya. Ia adalah C.D. Barkman yang menjadi kuasa usaha Belanda pertama setelah hubungan Indonesia-Belanda pulih kembali pada awal tahun 60an. Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan kunjungan Soekarno ke Belanda. Ada dua persyaratan untuk kunjungan ini: Indonesia harus mengganti rugi aset Belanda yang dinasionalisasi selama konflik Irian, dan hukuman mati untuk presiden RMS Chris Soumokil harus ditiadakan, karena ini akan ditolak oleh parlemen Belanda dan masyarakat Maluku di Belanda. Ihwal ganti rugi Indonesia bagi aset Belanda disepakati oleh menlu Indonesia Soebandrio dengan menlu Belanda Joseph Luns. Teman-teman Indonesia yang protes Indonesia kok bayar ganti rugi pada penjajahnya, inilah sebabnya: demi memenuhi keinginan Soekarno datang ke Belanda. Ihwal hukuman mati Chris Soumokil disetujui akan ditunda, akhirnya Soehartolah yang melaksanakannya. Dan ironisnya, Soehartolah yang diundang resmi ke Belanda. Kunjungan yang dibayangi aksi protes dan penyanderaan pemuda Maluku.
Ironis.
Disetujui oleh Indonesia dan Belanda, Soekarno akan mengunjungi Belanda sekitar akhir 1965, demikian Barkman dalam memoarnya. Eh, ternyata gagal gara-gara G-30S. Jadi saya heran: masa Soekarno mendalangi peristiwa berdarah ini yang jelas menghalangi keinginannya yang paling besar yaitu datang ke Belanda, sampai ia rela bayar ganti rugi segala
Radio Nederland Siaran Indonesia - Ranesi.

Rabu, 06 Februari 2013

Kisah yang Hampir Tidak Diingat

Kompas Cetak Minggu, 19 Desember 2010
Wajah Ismael Hassan (84) berseri-seri. Pada Sabtu (18/12), di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam Al-Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur, ia sibuk menerima ucapan selamat dari koleganya dan orang-orang lain yang menghadiri peringatan 62 tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Memakai setelan jas berwarna gelap, ia juga kelihatan tangkas melayani permintaan sejumlah orang yang mengajaknya berfoto bersama. Ismael adalah orang yang paham bagaimana para tokoh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berjuang di hutan-hutan belantara di Sumatera Barat. Bersama tokoh PDRI, ia ikut berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran Belanda.
Ismael juga mengetahui persis alotnya perundingan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dengan delegasi utusan Soekarno-Hatta pada fase akhir PDRI. Perundingan itu bertujuan melunakkan hati Sjafruddin agar mau datang ke Yogyakarta, mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Dalam perundingan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu, Ismael bertindak sebagai notulis. Di sela-sela makan siang seusai acara peringatan, Ismael mengatakan, PDRI merupakan salah satu mata rantai eksistensi Republik Indonesia. Berkat PDRI, pemerintahan Republik Indonesia memiliki kesinambungan. PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Serbuan Belanda ke Ibu Kota Yogyakarta membuat kedudukan Dwitunggal itu berada di ujung tanduk. Untuk menjaga kesinambungan pemerintahan, dibentuklah PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tidak lama setelah memberikan mandat kepada Sjafruddin sebagai Ketua PDRI, Soekarno-Hatta ditangkap pasukan Belanda. Selain Sjafruddin, yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, ada delapan orang lain duduk dalam PDRI. Mereka antara lain Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang PDRI dan Mr AA Maramis yang menjabat Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India. PDRI berakhir pada 13 Juli 1949. Selama tujuh bulan melaksanakan mandat, tokoh PDRI di Tanah Air berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran pasukan Belanda. Seminggu sebelum penyerahan kembali mandat, delegasi utusan Soekarno-Hatta yang antara lain terdiri dari Moh Natsir dan J Leimena berunding alot dengan Sjafruddin. ”Waktu itu, Sjafruddin mempertanyakan mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan Roem-Royen (Mei 1949),” ujar Ismael. Hal lain yang dipertanyakan oleh Sjafruddin adalah isi perjanjian Roem-Royen yang melemahkan republik. ”Keberatan utama Sjafruddin sebenarnya terletak pada perjanjian Roem-Royen itu,” ujar Ismael. Namun, Sjafruddin akhirnya bersedia mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta pada 13 Juli 1949. Sjafruddin dan tokoh PDRI lainnya mendarat di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 10 Juli 1949.
Kurang dikenal
Fragmen PDRI dalam bentang sejarah perjuangan Indonesia mungkin kurang begitu dikenal. ”Hampir tidak diingat lagi. Peran mereka tidak mendapat sorotan,” kata sejarawan Hilmar Farid dalam kesempatan terpisah. Baru pada tahun 2006, tanggal terbentuknya PDRI, yakni 19 Desember, dinyatakan oleh Pemerintah RI sebagai Hari Bela Negara. Ini merupakan pengakuan luas pemerintah akan peran PDRI setelah ditunggu- tunggu selama berpuluh-puluh tahun oleh mereka yang pernah aktif dalam PDRI. Mantan Wakil ketua MPR AM Fatwa yang hadir dalam acara peringatan 62 Tahun PDRI itu menegaskan, apa yang dilakukan para tokoh PDRI patut dicontoh oleh generasi politisi ataupun pejabat sekarang. ”Tokoh PDRI berjuang dengan tulus tanpa mengharapkan apa-apa demi negara,” jelasnya.
Bagaimanapun, menurut Hilmar, Sjafruddin akhirnya terlempar dari pusaran kekuasaan di pusat. Lantas, mantan Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri ini memiliki sikap yang berseberangan terhadap pemerintah pusat dengan bergabung bersama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Kekuatan PRRI lantas dipukul pemerintah pusat dengan kekuatan militer. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai pemberontakan, tetapi beberapa pendapat menyebut PRRI sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan daerah pada pusat.
Peringatan sederhana
Terlepas dari peranan Sjafruddin dalam PRRI yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan, PDRI perlu mendapat sorotan lebih layak dalam panggung sejarah Indonesia. Pada periode PDRI ada sejumlah orang yang dengan gigih, tanpa mengharapkan pamrih apa pun, berlarian di hutan, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan untuk memastikan bahwa pemerintahan RI tetap eksis di tengah tekanan Belanda. Peringatan 62 tahun PDRI sendiri berlangsung bersahaja di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI) Al-Azhar, Rawamangun, Jaktim. Setiap tahun, peringatan PDRI memang selalu dilakukan di sana, dengan diprakarsai oleh Ismael, ketua sekaligus salah satu pendiri YAPI. Tidak ada pejabat negara atau politisi beken yang hadir. Namun, mereka semua dengan tulus mengenang orang- orang yang pernah memberi warna cukup penting dalam sejarah Indonesia itu. (A TOMY TRINUGROHO)
Komentar:
Tulisan untuk memperingati peristiwa jatuhnya kota Yogya 19 Desember 1948, hendaknya juga untuk mengangkat sejarah Perintah Kilat Jenderal Soedirman. Itulah peristiwa apa yang kita kenal sebagai "Perang Rakyat Semesta". PDRI baru berdiri tanggal 22 Desember 1948. Sesungguhnya semua ini berada dalam koridor Sejarah Nasional dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yaitu 1. Yogya diserang, Pak Dirman memiimpin gerilya yang berlaku untuk seluruh tanah air. 2. Surat mandat dikirim Hatta, satu untuk Sjafroedin di Bukit Tinggi dan satu lagi untuk Maramis di New Delhi. 3. Presiden, wakil Presiden/Perdana Menteri dan sejumlah Menteri ditawan di Sumatera. Meskipun sebagai tawanan, nyatanya Belanda, BFO, KTN, Sri Sultan HB IX datang ke Bangka untuk bertemu dengan para pemimpin bangsa ini. 4. Palar selaku wakil PDRI di PBB melakukan perjuangan diplomasi didunia internasional. Dan jangan lupa peranan para pemimpin Aceh dibawah Panglima Daud Bereh yang berjuang demi tegak berdirinya PDRI. Aceh tidak pernah tersentuh oleh tangan musuh. Kalau mau saat itu Aceh bisa merdeka atau melepaskan diri....tapi itu tidak dilakukan demi NKRI.....Bukan Main. Referensi "Modal Perjuangan Kemerdekaan" (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948) diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh 1990, penulis TA Talsya

Selasa, 05 Februari 2013

Garuda Pancasila Rancangan Sultan Hamid II

Sintang-KOTA, (kalimantan-news) Sumber: www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=2003
Satu fakta sejarah baru terungkap kembali. Yaitu tentang lambang negara burung garuda. Selama ini burung garuda (Pancasila) dinyatakan sebagai lambang negara dan merupakan kreatifitas sejumlah tokoh nasional. Sebut saja Soekarno, mantan presiden pertama republik ini. kemudian ada versi kedua, bahwa burung garuda merupakan hasil kreasi dari Sultan Hamid II. Hal inilah yang kini tengah diperjuangkan Kalbar ditingkat Nasional. Namun fakta baru muncul dari kerajaan Sintang. Kerajaan yang pernah disebut-sebut sebagai kerajaan terbesar ke dua di region Kalimantan ini setelah kerajaan Kutai. Raja Sintang H.R.M.Ichsani Ismail Tsyafioeddin dalam sebuah ritual adat kerajaan melayu pada pernikahan salah satu keponakannya mengatakan bahwa sultan hamid II yang disebut-sebut sebagai pencetus ide lambang negara ini telah meminjam lambang kerajaan Sintang. Tepatnya di tahun 1948 dan dibawa ke pontianak. Sultan Hamid II sendiri merupakan putra pertama raja kerajaan Pontianak sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Untuk hal ini sultan Sintang dan tokoh sepuh yang masih kerabat keraton Gusti Djamadin mengaku masih menyimpan dokumen peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II tersebut. Lambang kerajaan Sintang sendiri yang kini masih tersimpan di istana Al Muqqaromah Sintang ada berupa patung burung yang memang sama dengan lambang negara kita saat ini. Patung burung itu sendiri menurut Gusti Djamadin dibuat oleh seorang putra Dayak yaitu Sutha Manggala di masa kerajaan Sultan Abdurrahman. Patung tersebut disyahkan sebagai lambang kerajaan Sintang tahun 1887. Gambar patung burung yang kemudian dijadikan sebagai lambang kerajaan Sintang ini menurut penuturan Gusti Djamadin diambil dari salah satu bagian gantungan gong dari bagian seperangkat gamelan yang dijadikan barang hantaran lamaran Patih Lugender kepada putri kerajaan Sintang Dara Juanti. Pada bagian gantungan gong terdapat ukiran menyerupai burung garuda. Memiliki dua kepala yang berlawanan pandang. Satu kepala asli burung namun satu lagi menyerupai kepala manusia. Sedangkan pada lambang kerajaan Sintang kepala patung diukir menyerupai kepala manusia.
Jika benar cerita ini, dan kerajaan Sintang memang masih memiliki bukti-bukti sejarah, maka siapa yang pertama kali mencetuskan lambang dari negara ini akan menemui babak baru. Pasalnya selama 60 tahun kerajaan Sintang mengalami masa vacuum. (phs). Foto selipan, Sultan Hamid ke II dimasa tuanya dengan sketsa burung garuda yang kemudian menjadi lambang negara Republik Indonesia Serikat.

Senin, 04 Februari 2013

Penerima hadiah Nobel Kedokteran, Eijkman


Christiaan Eykman (11-08-1858, Utrecht) sekolah kedokteran di UVA (Universiteit van Amsterdam) Belanda dan lulus pada tahun 1883. Setelah lulus berangkat ke Hindia Belanda sebagai opsir kesehatan (officier van gezondheid) dan ditempatkan di Cilacap kemudian di Padang Sidempuan. Tahun 1885 kembali ke Belanda atas cuti sakit dan sempat terkait pada bagian bakteriologi. Pada tahun 1886 dia kembali lagi ke Hindia untuk bekerja sebentar dalam penelitian pada komisi penyakit beri-beri dibawah pimpinan Pekelharing dan Winkler . Tahun 1889 kembali lagi ke Hindia dan bekerja pada Laboratorium Pathologi Anatomie dan Bacteriologie yang kemudian bernama Eykman-Instituut . Dalam kesempatan kali ini dia juga diangkat sebagai direktur dan dokter pada sekolah dokter Jawa (Jawa-school). Penelitian yang dilakukannya dibidang polyneuritis membawanya kepada penelitian penyakit Beri-beri. Dimana ternyata penyebab Beri-beri adalah kekurangan vitamin B. Tahun 1898 dia kembali lagi ke Belanda dan mengajar di Universitas Utrecht sebagai guru besar . Pada tahun 1929 mendapatkan hadiah Nobel kedokteran pada bidang faal terkait penelitiannya waktu di Hindia yaitu Beri-beri

Jumat, 01 Februari 2013

Sjahrir tiba di Kemayoran 18 Januri 1949

Seperti diketahui pasca Agresi Militer Belanda ke II 19 Desember 1948, Sjahrir, Soekarno dan H.Agus Salim dibuang ke Brastagi, kemudian ke Prapat. Tiba-tiba Sjahrir diundang ke Jakarta. Tanggal 18 Januari 1949 Sjahrir tiba di Kemayoran dari Medan. Diceritakan Sjahrir kepada Soepomo dan Soejono (anggota delegasi perundingan Indonesia-Belanda) bahwa dia menerima undangan ke Jakarta melalui Residen Prapat satu hari sebelum berangkat. Undangan itu berkaitan dengan kedatangan Dr Drees Perdana Menteri Belanda. Maksudnya mengajak berunding. Sebelum berangkat Sjahrir berunding lebih dahulu dengan dua teman lain yang diinternir yaitu Soekarno dan H.Agus salim. Keputusannya Sjahrir berangkat ke Jakarta dan menemui Dr Drees sebatas untuk mengetahui situasi politik terakhir. Memang sejak di internir ke Brastagi dan Prapat ketiganya tidak tahu apa-apa yang terjadi ditanah air. Berita yang ada hanya dari Aneta melalui Koran Belanda. Lucunya Soekarno dan Agus Salim tidak menerima undangan. Demikian juga Hatta dan teman-teman di Bangka. Sjahrir ketika tiba di Kemayoran banyak yang menjemput. Misalnya Koets, Dr Dharma Setiawan, Soepomo, Lili (anak angkat Sjahrir adik Des Alwi) dan Rosihan Anwar. Sjahrir berjanji pada Soepomo tidak akan berunding dengan Drees atau golongan Federalis, kecuali dengan sjarat semua pemimpin Republik dibebaskan dan dikembalikan kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan. Malamnya memang Sjahrir berbicara formal dengan Perdana Menteri Belanda didampingi duta besar Belanda di Inggris Edgar Frederick Michiels van Verduynen.
(Diambil dari buku Mengenang Sjahrir oleh Rosihan Anwar). Foto. Saat Sjahrir tiba di Kemayoran 18 Januari 1949. Tampak Lili, Koets dan Rosihan Anwar.

Kamis, 31 Januari 2013

Dr AK Gani

Adenan Kapau Gani yang Bernama Lengkap Dr. Adenan Kapau Gani (lahir di Palembayan, Agam, Sumatera Barat, 16 September 1905 – meninggal di Palembang, Sumatera Selatan, 23 Desember 1968 pada umur 63 tahun). Dr AK Gani adalah seorang dokter yang pernah melakukan kegiatan medis dalam profesinya. Setelah Lulus dari STOVIA aktif didunia politik (anggota PNI) bahkan pernah main film. Setelah Indonesia merdeka ditunjuk untuk membentuk kesatuan militer di Sumatera, kemudian menjadi Gubernur Militer Sumatera Selatan pada periode revolusi fisik saat Agresi Militer Belanda I dan juga pernah menjadi anggota delegasi Perundingan Linggarjati pada tahun 1946. Di Pemerintahan Republik Indonesia, beberapa kali Gani menduduki kursi menteri. Debut Gani bermula di Masa Kabinet Sjahrir III sebagai Menteri Kemakmuran. Pada masa pemerintahan Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948), ia menjabat sebagai wakil Perdana Menteri merangkap sebagai Menteri Kemakmuran. Setelah tahun 50-an sekali lagi AK Gani diangkat sebagai Menteri yaitu Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjadi anggota parlemen dan pernah pula menjabat sebagai anggota Konstituante Indonesia ketika lembaga ini pertama kali didirikan. Pada tanggal 9 November 2007, almarhum Mayjen TNI Gani dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagaimana foto diatas, sebagai mahasiswa AK Gani pernah naksir Maria Ulfah. Rupanya mereka sempat pacaran tapi jodoh rupanya tidak pernah berlanjut. Selanjutnya sebagai dua sahabat berlangsung terus sampai akhir hayat. Ayah Maria Ulfah (Mochamad Achmad) adalah Bupati Kuningan saat itu. Bukan hal aneh kalau atas pengalaman Maria dan Gani, usul untuk perundingan Indonesia-Belanda dilakukan di Linggarjati sebuah tempat wisata di Kuningan Jawa Barat. Sebagai orang yang serba bisa, dan pandai ber bisnis, AK Gani pernah mendirikan Perusahaan Penerbangan Pioneer dengan logo Banteng bersayap. Rupanya Gani tetap setia pada partainya, Partai Nasionalis Indonesia.

Rabu, 30 Januari 2013

Setelah Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948

Setelah serangan Belanda ke Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta dan sejumlah menteri kabinet RI ditangkap. Dan pada tanggal 22 Desember mereka dibawa ke Sumatera. Kemana akan dibawa ? Tidak satu orangpun dari tawanan ini yang tahu kemana ? Akhirnya pesawat mendarat di lapangan terbang Pangkal Pinang. Setelah rombongan Hatta diturunkan di Pangkalpinang, pesawat bomber B 25 pengangkut tawanan itu meneruskan penerbangan ke barat. Kemudian mendarat di Polonia, Medan, Di situ pejabat-pejabat Belanda sudah menunggu para tawanan penting itu yang terdiri dari Soekarno. H. Agus Salim dan Syahrir, yang langsung dibawa ke Berastagi. Mengenai peristiwa ini Bung Karno bercerita: "Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakannya pengasingan. Sekarang istilahnya 'penjagaan untuk keselamatan'. Dua: kami dijauhkan dari istri kami. Dan tiga: kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami dengan kawat berduri enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung. Wanita yang memasakkan kami senang kepadaku. Di sore hari kedua kami di sana, dia menyelundup ke kamarku dengan gemetar ketakutan. 'Pak' katanya menggigil, "Saya tadi menanyakan, apa yang akan saya masak untuk Bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan, Tidak perlu. Soekarno akan dihukum tembak besok pagi.' Malam itu penakluk kami menyadari, bahwa Berastagi tidak bisa di-pertahankan. Tiba-tiba berhembuslah perubahan yang besar dalam rencana dan esok paginya di waktu subuh mereka memindahkan kami. Belanda juga tidak menyediakan waktu untuk membunuhku. Berangkatlah rombongan orang buangan menuju Prapat yang ter-letak di pinggir Danau Toba. Semenjak aksi militer pertama Belanda telah menduduki daerah semenanjung kecil ini, yang ditumbuhi oleh pinus yang segar baunya dan sejak itu tetap bertahan di sana. Sebelum perang tempat ini telah dipergunakan sebagai tempat istirahat orang Belanda. Rumahnya indah dan cantik. Dan rumah kami letaknya di ketinggian di ujung semenanjung di atas tebing yang curam menghadap ke danau. Sangat indah pemandangan itu. Pun sukar untuk dimasuki. Di tiga sisi dia dikelilingi oleh air. Di belakang rumah adalah daratan dengan jalan yang berkelok-kelok.", Di Prapat terjadi hal-hal yang kurang enak. Pertama hubungan Soekarno-Sjahrir tiba-tiba berubah kurang baik. Dan pada tanggal 18 Januari Sjahrir diundang Perdana Menteri Drees ke Jakarta. Tanggal 5 Februari Soekarno dan Agus Salim dipindahkan dari Prapat. Mereka dibawa ke Muntok, Bangka; terpisah dari Hatta dan tahanan lainnya yang ditempatkan di Menumbing.Hatta menulis dalam Memoir-nya demikian: "Tanggal 5 Januari, hari Rabu, kami mendengar berita, bahwa Perdana Menteri Drees sudah sampai ke Jakarta. Katanya dia akan meresmikan Pemerintah Peralihan. Tidak lama sesudah itu kami dengar, bahwa Syahrir diminta datang ke Jakarta dari Prapat. Dan setelah diadakan pembicaraan dengan mereka, Syahrir tinggal saja di Jakarta. Dia tidak kembali ke Prapat. Kejadian itu kami bicarakan di Menumbing. Ketika itu aku tegaskan pendirianku, kalau aku diminta datang ke Jakarta aku akan menolak. Bukan aku yang mau bicara dengan Perdana Menteri Drees, tetapi mungkin ia yang perlu dengan aku. Sebab itu dia mesti datang ke Bangka. Sangat kebetulan, bahwa keesokan harinya seorang pembesar Belan­da datang untuk menyampaikan permintaan Drees, supaya aku menjumpainya di Jakarta. Kalau aku tak salah ingat namanya Mr. Gibben. Aku menjawab bahwa Perdana Menteri Drees yang memerlukan aku, sebab itu ia harus datang ke Bangka. Lalu dijawabnya, bahwa PM Drees itu usianya sudah lanjut, jadi berat baginya untuk datang dari Jakarta ke mari. 'Jikalau berat bagi dia untuk datang kemari, ia singgah saja nanti sebentar, kalau ia kembali ke Nederland,' kataku. Aku tetap menolak untuk pergi ke Jakarta. Sementara itu kami mendengar berita radio, bahwa anggota KTN Cochran berangkat ke Amerika Serikat. Hal itu kami bahas. Apakah dia pergi ke sana untuk meminta Kementerian Luar Negeri memberi tekanan kepada Belanda untuk mempercepat penyelesaian masalah Indone­sia?"
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: 2013 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates