Rabu, 01 Juni 2011

Raja Bone ke-7

La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.

La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.

Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.

Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.

TellumpoccoE juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.

Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.

Saudara Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.

Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.

Hanya kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.

Sementara orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.

Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki kebaikan”.

Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.

Ketika menjadi Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.

Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.

Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar ; ”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.

Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).

Ketika sampai pada hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.

Pertemuan tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.

Arumpone menjawab ; ”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.

Berkata pula PollipuE ri Soppeng ; ”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo ; ”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata ; ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.

Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.

Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ; ”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.

Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).

Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.

Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).

Karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: Raja Bone ke-7 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates