Senin, 31 Desember 2012

GBPH Joyokusumo: Presiden Tak Pernah Belajar Sejarah


GBPH Joyokusumo: Presiden tak pernah belajar sejarah.
YOGYAKARTA –– Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah Mada, A.A.G.N. Arie Dwipayana, menilai pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tak mungkin monarki merupakan konsekuensi politik. “Suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah dengan pemilihan, bukan penetapan,” ujar Arie kepada Tempo kemarin. Tapi, katanya, pernyataan Presiden itu belum juga memberikan jawaban bagaimana posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di kantor Presiden kemarin menegaskan, sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki. “Tidak mungkin ada sistem monarki, yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden. Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional, juga keistimewaan, yang harus dihormati di Yogyakarta dan implementasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, katanya, keistimewaan tetap akan dipahami dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Harus tetap menampakkan dalam struktur pemerintah keistimewaan itu,”katanya. Arie Dwipayana mengatakan penilaian Presiden bahwa sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi dan konstitusi terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kenyataannya, Inggris maupun negara Skandinavia, yang menggunakan sistem monarki, bisa hidup dalam demokrasi. “Jadi tak benar jika monarki tak bisa hidup dalam nilai-nilai demokrasi,”kata Arie. Menurut Arie, monarki perlu diterapkan dalam konteks Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membuat desain bagaimana monarki bisa diakomodasi dalam demokrasi. Semisal dengan membuat sistem monarki konstitusional, yakni menggabungkan warisan tradisi monarki sebagai simbol pengayom dengan demokrasi. Adapun GBPH Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak pernah belajar sejarah. “Tapi hanya belajar sejarah elite Barat,” ujar Joyokusumo, yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Tapi, menurut dia, langkah Hamengku Buwono IX telah mengajarkan soal demokrasi ala Jawa, yaitu semua kebijakan bermanfaat bagi rakyat, bukan sistem. “Kalau demokrasi ala Soeharto berdasarkan sistem.” Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Janu Ismadi menegaskan, apa pun pernyataan Presiden, DPRD DIY tetap mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.“Ya, kami tidak bisa menerima pernyataan itu begitu saja,”kata Janu. Dewan berharap RUU Keistimewaan DIY bisa diselesaikan tahun ini, lantaran 2011 adalah masa berakhirnya perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY.“Pengawalan yang dilakukan DPRD DIY tidak lagi melalui pengiriman delegasi yang ketiga, melainkan melalui perwakilan DPR RI dari daerah pemilihan DIY,”katanya. Saat ini posisi draf RUUK masih di Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Foto: Lembaran Negara. Himpunan Undang2 1945, Koesnodiprodjo, Penerbit SK SENO Jakarta 1951.

Minggu, 30 Desember 2012

Salemba 6, 90 tahu (bag ke II)

Atas tuntutan yang lebih meningkat lagi, pada th 1927 didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundig Hooge School atau GH). STOVIA tidak dibubarkan tapi berjalan terus dimana baru ditutup dengan resmi pada tahun 1937. Kalau sebelumnya untuk memperoleh gelar
Arts harus pergi kenegeri Belanda, sejak GH tidak perlu lagi. Untuk memberikan peluang pada para mahasiswa ex STOVIA untuk ikut dalam pendidikan GH, mahasiswa tingkat IV keatas mendapat kesempatan melalui testing. Tentu saja mata kulia lebih dikembangkan dan fasilitas pendidikan jauh lebih baik. Lama pendikan GH adalah 7 tahun dan menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah atas. Berbeda dengan STOVIA yang menganut sistim pendidikan Guided Study atau pendidikan terpimpin, GH menganut sistim Free Study (pendidikan bebas) dimana sang mahasiswa menentukan kapan untuk menempuh ujian. Dengan perkataan lain jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun sukar diperkirakan. Saat itu timbul fenomena yang disebut sebagai Mahasiswa Abadi (de eeuwige student). Dalam kehidupan mahasiswa muncul dan tumbuh organisasi seperti Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan Bataviasche
Studentcorps (BSC).
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak itu kedua sekolah kedokteran GH dan NIAS (Nederlands Indisch Arts School) di Surabaya ditutup.
Pada tahun 1943 keduanya disatukan dan pendidikan diadakan di Jakarta dengan nama Ika dai Gaku. Tempat pendidikannya di Salemba 6 juga. Karena banyaknya mahasiswa dari luar kota, didirikanlah asrama yang terletak di jalan Prapatan 10. Berbeda dengan GH, lama pendikan Ika Dai Gaku adalah 5 tahun. Selama zaman Jepang berhasil lulus dua angkatan tahun 1944 dan 1945. Hampir semua lulusan menjadi dokter militer dalam kesatuan PETA. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Salemba 6 dan CBZ berubah menjadi Pergoeroean Tinggi Kedokteran dan Roemah sakit Pergoeroean Tinggi. Dalam perjalanan sejarah pendikan kedokteran di Indonesia ini sempat berpindah tempat beberapa kali. Mula-mula ke Malang dan Klaten, kemudian pada tahun 1950 kembali ke Jakarta. Pada saat itulah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditetapkan berdiri. Zaman Revolusi di Jakarta (1948) Rumah sakit dan Pergoeroean Tinggi Kedokteran sempat diambil alih pihak Belanda. Pihak Republik Indonesia tidak bisa menerima keadaan ini sehingga pihak tenaga pelaksana Dokter, Perawat dan tenaga administrasi termasuk para pasien meninggalkan Rumah sakit.
Bagaimana Salemba 6 dan RSCM (Diponegoro 71) saat ini ? Telah berubah banyak. Menyongsong akan dibangunnya Twin Tower di halaman dalam FKUI dan telah dibangunnya Rumah Sakit Kencana di ujung barat, Kita tidak mengenal lagi bagaimana CBZ dan STOVIA pada tahun 1919 dan 1920.
90tahun telah berlalu biarlah kenangan tetap melekat yang dapat mencitrakan sulitnya perjuangan, jatuh bangunnya dan geliat keras melawan tantangan dan cobaan dalam alam pendidikan dokter, penelitian kedokteran serta pelayanan yang memadai bagi rakyat Indonesia...
Foto atas: Penandatanganan Prasasti dan peletakan batu pertama oleh Nyonya Gubernur Jenderal Van Limburstirum.

Sabtu, 29 Desember 2012

Salemba 6, 90 tahun

Ir Hein von Essen pada tahun 1914-1915 mendapat tugas dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merencanakan dan membangun sebuah kompleks Pelayanan Kesehatan diatas sebuah persil ditepi kali Ciliwung Jakarta. Pada tanah di Salemba ini pada waktu sebelumnya, di
sebelahnya memang sudah dibangun Pabrik Madat (Opium Fabriek). Hein adalah sarjana tehnik sipil terkenal saat itu dari biro pembangunan bernama Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.). Kompleks terdiri dari sebuah Rumah Sakit Umum sebagai pengganti Rumah Sakit Umum pemerintah di Glodok (Stadsverband) yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat. Rumah Sakit baru di Salemba ini rampung pada tahun 1919 dan kemudian terkenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Disebelahnya berhasil dibangun laboatorium kedokteran. Tentu saja setelah 90 tahun bangunan Rumah Sakit yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini telah banyak berubah. Beruntung laboratorim yang kini bernama Lembaga Biologi Molekul Eijkman masih berdiri tegak sebagaimana aslinya. Pada tanggal 26 Agustus 1916, Gravin N van Limburg Stirum mewakili suaminya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, untuk menandatangani Prasasti dimulainya pembangunan gedung School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah kedokteran pribumi yang disingkat sebagai STOVIA ini sudah ada sejak tahun 1902 yang terletak di daerah Kwini Jakarta (kini jalan dr Abdurachman Saleh). Karena didesak perkembangan kemajuan dunia kedokteran sebagai institusi pendidikan dan penelitian dipindahkan ke Salemba. Selanjutnya STOVIA, CBZ dan laboratorium kedokteran merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Pendidikan ahli kesehatan di Hindia Belanda sudah ada sejak th 1851 yang dikenal sebagai sekolah Vaccinateur. (juru cacar). Dalam perkembangannya pendidikan yang hanya 2 tahun itu meningkat dari tahun ketahun. Lama pendidikan dan tambahan pengetahuan akhirnya menetapkan pada tahun 1853 berdirinya Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa). Pendidikan yang lebih ditingkatkan lagi pada th 1902 berhasil dibentuk pendidikan dokter pribumi dengan nama STOVIA. Rumah Sakit Pendikan untuk STOVIA adalah Militair Hospitaal (rumah sakit tentara) yang kini adalah RS Gatot Soebroto. Mungkin sejalan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit yang meningkat di Batavia, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai rumah sakit pendidikan, kompleks di Salemba ini dibangun. Mahasiswa juga menjadi lebih nyaman untuk belajar di wilayah baru yang lebih luas tersebut.

Jumat, 28 Desember 2012

may Jen Susalit


Foto putera satu-satunya RA Kartini, yaitu Raden Mas Singgih yang waktu kecilnya bernama Susalit (Jawa : susah wiwit alit atau dalam bahasa Indonesia susah sejak kecil). Foto saat pelantikan Batalyon Sudjono dan Batalyon Darjatmo pada tanggal 5 Mei 1948 oleh Jenderal Mayor Susalit. Tampak ikut hadir Panglina Besar Jenderal Soedirman.

Kamis, 27 Desember 2012

Pertemuan guru sejarah di Nijmegen Belanda.

Setahun yang lalu pada bulan Maret 2011 di Nijmegen Belanda, diadakan pertemuan besar para guru sejarah  dari seluruh dunia. Sebanyak 40 orang hadir disana. Mereka mendiskusikan sejarah Eropah. Geschiedenis 24 (sebuah lembaga TV Belanda yang terkait pada bidang sejarah) memawancarai mereka. Tentu saja antara lain soal koloni Belanda, Hindia Belanda yang setelah merdeka bernama Republik Indonesia sekarang. Rasanya tidak ada guru sejarah Indonesia yang ikut kesana. Dalam foto adalah guru sejarah Marzia Gigli dari Italy yang menyinggung soal Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Mestinya guru sejarah Indonesia bisa memberikan sumbangan pendapatnya kalau ada yang ikut.

Rabu, 26 Desember 2012

Dari Politik ke Kebathinan

Oleh SK Trimurti (dalam majalah Tempo 21 April 1990, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/21/MEM/mbm.19900421.MEM20311.id.html#
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)

Jumat, 07 Desember 2012

Mobil Bung Karno pada tahun 1945


Ada sebuah mobil buatan tahun 1939 bermerk “Buick 2 Phaetons”. Mobil ini teronggok di Museum Gedung Juang Menteng 31. Banyak cerita soal mobil ini. Yang menarik katanya: Alkisah, sesudah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sebagai negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, jelas pemerintah RI tidak memiliki apa-apa, kecuali semangat merdeka. Gedung-gedung masih dikuasai tentara Jepang, yang telah menyatakan bertekuk lutut kepada Sekutu. Senjata paronomasia hanya sebagian kecil yang berhasil direbut dari tentara Jepang. Bung Karno yang secara aklamasi dipilih sebagai presiden, juga belum punya kantor, bahkan masih tinggal di rumah sendiri, belum bisa masuk Istana Rijswijk di depan Lapangan Ikada. Demikian juga kelengkapan untuk Presiden, seperti mobil dan pasukan pengawal belum ada. Menyadari perlunya kendaraan bagi seorang presiden, Sudiro (nantinya menjadi Walikota Jakarta) ingin 'berburu' mobil bagi presidennya. Sudiro tahu, mobil yang terbagus di Djakarta waktu itu dimiliki oleh seorang pejabat Jepang. Mobilnya itu bahkan lebih hebat dari yang dipakai atasannya, Gunseikan (Kepala Pemerintahan Pendudukan Jepang) atau Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi Balatentara Jepang). Mobil itu bikinan Inggris bermerek Buick, dengan 7 tempat duduk. Mobil bercat hitam yang masih mengkilat itu tampak mewah dan kaca belakang dihias dengan kain halus. Jalannya mulus tanpa suara, karena masih baru. Mobil itu oleh pemiliknya diparkir di kantor Departemen Perhubungan. Ketika Sudiro ke sana, dilihatnya sopirnya sedang duduk di dekat mobil. Sudiro segera meminta si sopir untuk menyerahkan kunci mobil. Tentu saja si sopir kaget dan menolak. Akhirnya ia bersedia menyerahkan kunci mobil itu. Pasalnya, Sudiro mengatakan mobil ini untuk Presiden (Bung Karno). Kepada sopir itu Sudiro memberi uang 300 rupiah gum ia segera pulang ke tempat asalnya, Kebumen. Setelah si sopir pergi, Sudiro yang telah memegang kunci mobil itu baru ingat bahwa ia belum bisa menyopiri mobil..
Apa betul itu mobil Bung Karno ? Jawabnya kurang lebih demikian. Tapi rasanya cerita diatas bukan mobil ini yang dimaksud. Mungkin mobil lain. Kalau mobil ini, Bung Karno dapat dari pemerintahan militer, kemungkinan sejak tahun 1943. Mobil inilah yang dipakai Bung Karno tanggal 7 Agustus 1945 saat menghadap di Gunsekan yang diterima oleh Jenderal Nishimura karena akan segera dibentuknya PPKI. Ini ada dalam film Nampo Hodo Nippon Eigasha Djakarta dengan kode No.43 ESTRA. Tampak dari capture, foto kanan atas saat mobil tiba dan kanan bawah saat sopir membukakan pintu dan Bung Karno keluar. Masih bisa terlihat dari foto-foto sebelah kanan No Plat Mobil B 7295. Foto sebelah kiri atas, pada tahun 80-an mobil ini yang pernah jadi milik orang lain dan rusak, diperbaiki serta bisa jalan. Dalam salah satu hari kemerdekaan dicoba diikutkan dalam pawai. Rupanya sudah bobrok sehingga dipinggirkan dan didorong. Foto kiri bawah, dari internet  perusahaan Buick yang menginformasikan secara rinci  Buick 2 Phaetons tahun 1939. Ada kemungkinan seperti informasi yang perlu diteliti lebih lanjut kalau mobil ini dizaman Belanda adalah mobil dinas direktur De Javasche Bank ?

Minggu, 02 Desember 2012

Pak Urip Santoso telah tiada.


Pada tanggal 1 Desember 2012 jam 14.00, Laksamana Pertama (Purn) Urip Santoso telah dipanggil Sang pencipta (Khalik). Beliau meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta setelah untuk beberapa lama dirawat. Pak Urip punya riwayat hidup yang amat panjang dan berwarna warni. Saat Revolusi Kemerdekaan, ketika Tentara Nasional dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, beliau adalah anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Kapten. Namun karena pada menjelang agresi militer Belanda 1947 ditangkap pasukan Belanda di Tambun, maka sepanjang tahun 1948 ditawan secara berpindah-pindah mulai penjara Glodok, Tanggerang dan Bukit Duri. Karena diajak kompromi dan mau disekolahkan, beliau menolak maka sampai menjelang pengakuan kedaulatan tahun 1949 masih tetap dipenjara. Akhirnya bersama 5 orang tawanan lainnya antara lain Pramudya Ananta Tur dan Kolibonso, dilepaskan dari penjara tanpa pernah diadili. Kemudian aktif kembali di TNI AD. Membaca penguman akan dibuka pendidikan perwira TNI AL di Belanda, beliau minta izin dari komandannya saat itu yaitu Kolonel Zulkifli Lubis untuk keluar dari TNI. Maka sejak itu dan lulus dari testing, Pak Urip adalah taruna Adelborst di Akademi Angkatan Laut Belanda sebagai anggota TNI AL dalam pendidikan. Setelah selesai bertugas kembali dalam jajaran TNI AL dimana salah satu karyanya adalah ikut mendirikan KOPASKA (Komando Pasukan Katak). Berbagai pengalaman lain misalnya sebagai pimpinan Operasi demolisi saat TRIKORA, pimpinan operasi salvage pembersihan pelabuhan-pelabuhan dari kapal-kapal karam ex perang dunia ke II dan sempat pula menjadi anggota DPR utusan angkatan. Dan masih banyak lagi pengalaman beliau yang tidak cukup pendek untuk diceritakan disini. Foto: Pak Urip saat bertugas sebagai perwira tinggi TNI AL, Jenazah saat disemayamkan di rumah duka, saat pemakaman di TMP Kalibata dan baret serta simbul KOPASKA....Selamat jalan Pak Urip.

Sabtu, 01 Desember 2012

Lunglai di Rawa Klambu

RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. "Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.

Foto atas, Saat Amir tiba di Yogyakarta dengan kereta api tanggal 5 Desember 1948...masyarakat tidak menyambutnya sebagai Pahlawan.
Sumber: Majalah TEMPO online 8 November 2010
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: Desember 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates