Minggu, 26 Juni 2011

Israk dan Mikraj: Hadiah usai 50 tahun hidup penuh ujian

Membaca kisah-kisah nabi, menyentuh hati kita semua. Sepanjang hidupnya melalui pelbagai liku-liku. Sedangkan baginda merupakan kekasih Allah. Tetapi Allah me’ngorban’kan baginda dengan pelbagai kesulitan sebagai teladan kepada umat. Apatah lagi dunia ini sememangnya pentas ujian dari Tuhan buat hamba-hambanya.

Tidak cukup satu kesulitan malah berbagai-bagai bentuk yang dialuinya. Bukan sekaligus malah kesulitan ini datang bertali arus. Lihat sahaja 50 tahun pertama hidup baginda sebelum dihadiahkan Israk dan Mikraj. Sekurang-kurangnya terdapat 13 kesulitan yang bukan calang-calang telah dilaluinya. Bahkah sebelum kelahiran pun telah ada ujian apabila ayahnya telah dijemput mengadap Ilahi.

Kisah nabi memberitahu kita cara seorang kekasih Allah melalui saat-saat yang bermacam ragam. Beliau melalui detik-detik hiba ditinggalkan orang-orang tersayang. Beliau lahir tanpa melihat muka ayah dan mendengar suaranya. Beliau lahir dalam keadaan yatim.

Beliau hanya sempat bersama-sama ibu tercinta bagi beberapa tahun sahaja. Bondanya menghembuskan nafas terakhir di kala beliau masih kecil. Di kala masih memerlukan belaian manja seorang ibu. Kemudia Nabi Muhammad menumpang kasih pada si datuk malangnya tiba-tiba datuk pula meninggalkannya buat selama-lamanya. Kepada siapa pula anak yatim kecil ini ingin menumpang kasih dan manja?

Dalam usia yang sangat kecil, beliau terpaksa bermanja dengan bapa saudara yang mempunyai anak dan tanggungan yang ramai. Setelah begitu lama dalam peliharaan bapa saudara, beliau sekali lagi melalui detik pilu apabila bapa saudaranya pula meninggal dunia. Bapa saudara tempat beliau menumpang kasih setelah ketiadaan si ibu dan datuk.

Dalam hidup berumah tangga pula, beliau pernah melalui detik menyayat hati kehilangan isteri apabila Khadijah kembali mengadap Ilahi. Apatah lagi diketika baginda memerlukan sokongan padu dari si Isteri. Beliau juga melalui saat sedih seorang ayah yang menghadapi saat kematian anak-anaknya. Anak-anak lelaki beliau kesemuanya meninggal dunia sewaktu masih kecil, sebelum si ayah sempat bergurau senda dan bermesra.

Bayangkanlah;
• Beliau adalah anak yang kematian ibu dan bapanya.
• Seorang cucu yang ditinggalkan pergi oleh datuknya.
• Seorang ayah yang dijemput pulang anak-anaknya oleh Tuhan.
• Seorang suami yang kehilangan isteri tercinta.
• Anak saudara yang kehilangan bapa saudara yang dianggap seperi ’ayah kandung’ kerana menjaganya sejak kecil.

Air mata beliau mengalir setiap kali melalui saat hiba kerana itu adalah sifat manusiawinya. Beliau mengalirkan air mata pada saat menziarahi kubur ibunya. Air matanya tertumpah saat anak kecilnya tidak lagi bernyawa.

Baginda bukanlah manusia yang suka berminta-minta. Malah semenjak kecil sedaya upaya mencari rezeki dengan usahanya tangan sendiri. Terpaksa mengambil upah mengembala kambing dan berniaga.

Dalam medan dakwah beliau bukan sahaja ditentang dengan kata-kata malahan perbuatan. Baginda dihina, diejek, dicemuh dan dimaki. Baginda turut pernah diludah, dijerut leher, disekat dari berhubung, dibaling najis dan dilontar bantu. Bahkan sahabat-sahabatnya turut menerima nasih yang sama. Mereka diseksa dengan zalim. Terpaksa berhijrah meninggalkan Makkah. Hinggakan ada yang menjadi buta, berparut tubuh malah lebih daripada itu ada yang gugur syahid.

Begitulah 50 tahun pertama baginda melalui kehidupan ini. Namun, baginda melaluinya dengan penuh sabar, cekal dan tidak mengeluh. Maka selayaknya dengan kesabaran yang tinggi ini beliau dihadiahkan dengan satu perjalanan yang tidak pernah dilalui oleh mana-mana nabi sebelumnya atau akan dilalui mana-mana manusia sesudah baginda.

Perjalanan penuh mukjizat melangkaui perjalanan darat (Israk) dan perjalanan langit (Mikraj). Hadiah ini adalah hadiah Tuhan untuk menggembirakan hatinya dan memuliakan atas segala kesabaran yang ditanggungnya selama 50 tahun sebelum ini. Maha Suci Allah.

Wallahu A’lam Bissawab

(sila rujuk buku Sahrulazmi Sidek, Israk dan Mikraj terbitan al-Baasith Resources)

Jumat, 10 Juni 2011

Amali Sembelihan

Rabu, 01 Juni 2011

Rumpa'na Bone

KISAH HEROIK
LAPAWAWOI KARAENG SIGERI MELAWAN BELANDA TAHUN 1905

Dilukiskan dalam bentuk Sastera Bertutur

Prolog

Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31 bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.

Pendaratan tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), Lapawawoi Karaeng Sigeri menyatakan perang diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.

Di bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, Belanda melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi persenjataan Tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae dan Seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.

Selama Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November ) Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat senantiasa dapat melakukan kontak dengannya. Adapun pusat-pusat pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain : Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.

Dalam kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran Serdadu Belanda juga semakin gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone merubah taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengkoodinir laskar-laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahannya.

Perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE ( Bobolnya Pertahanan Bone). Sedang pihak Belanda menyebutnya sebagai AKSI MILITER TERHADAP BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Benteng Pertahanan Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Pahlawan Tana Ugi, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE

Tak dapat disangkal, bahwa ada segelintir kalangan yang melihat secara apriori peristiwa Rumpa’na Bone sebagai lembaran kelabu dalam sejarah perlawanan Rakyat Bone dalam menghadapi serangan serdadu Belanda. Kalangan tersebut beralasan bahwa, peristiwa Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya Panglima Perang Kerajaan Bone (Petta Ponggawae) dan tertangkapnya Raja Bone (Lapawawoi Karaeng Sigeri) oleh tentara Belanda, menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan Rakyat Bone melawan penjajah ?

Namun sebagian besar kalangan mengatakan, bahwa peristiwa Rumpa’na Bone yang diawali dengan perlawanan yang cukup sengit yang ditandai gugurnya ribuan laskar Bone adalah sebuah peristiwa heroik yang jarang ditemukan tandingannya. Langkah yang ditempuh oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Petta Ponggawae (Abdul hamid Baso Pagilingi) selaku Panglima Perang merupakan langkah patriotis yang cukup berani hingga rela meregang nyawa demi Tana Bone.

Kalau bukan karena jiwa patriotis, Lapawawoi Karaeng Sigeri selaku tokoh sentral perlawanan Rakyat Bone pada masa itu melawan tentara Belanda, mungkin ceritanya menjadi lain. Apakah menerima tawaran kerjasama dengan Belanda yang berarti membiarkan Komponi Belanda menjajah Kerajaan Bone. Namun yang pasti hal itu tak mungkin terjadi, karena ribuan Laskar Kerajaan Bone yang terkapar bersimbah darah di sepanjang pantai Bajoe. Para suhada Bugis tersebut didorong oleh SIRI’ NA PESSE untuk mempertahankan tanah tumpah daerahnya dari penjajahan Belanda.

Dalam kenyataannya memang harus diakui, bahwa persenjataan Belanda yang lengkap ditunjang dengan ketangguhan personil militernya jauh berada di atas bila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh Laskar Kerajaan Bone. Tetapi ketika kita mengenang kisah perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda yang pada akhirnya Petta Ponggawae Gugur dan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri tertawan, maka seyogianya patut dikenang dan direnungkan oleh generasi berikutnya.

Berikut ini kami haturkan untaian Balada Kisah Heroik seorang RAJA BUGIS

1.Bismillahirrahmanirrahim. Dengan petunjuk dan karunia-Nya, dengan kebesaran dan keagungan-Nya, kurentang benang merah sejarah, kurangkai peristiwa, kutulis ini kisah.

2.Kisah heroik seorang Raja Bugis melawan Belanda si Mata Pute. Dengan semangat patriotik membara, dan jiwa kesatria yang mendidih, didorong oleh Toddo’ Siri, na pesse’

3.Terlukis indah di lembaran sejarah. Terpatri abadi di hati Rakyat bone. Dari generasi ke ke generasi selanjutnya. Sebagai bukti keteguhan hati nurani. Orang Bugis berdarah Wija To Bone

4.Lapawawoi Karaeng Sigeri namanya. Raja Bone yang ketigapuluh satu. Bersama putranya yang gagah perkasa Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi. Panglima Perang Kerajaan Bone

5.Didukung oleh hadat Tujuh Bone. Dan Seluruh pimpinan Laskar pemberani. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Mengangkat senjata melawan penjajah. Hingga tetes darah penghabisan.

6.Dalam sejarah Bone disebutkan. Awal pecahnya perang yang dahsyat. Di pantai Timur Celebes Selatan. Di Pagi yang sejuk pada bulan Juli Tahun seribu sembilan ratus lima.

7.Ketika matahari mulai merekah. Di ufuk timur tiada berawan. Memancarkan cahaya indah keemasan. Menyepuh seantero Kerajaan Bone. Begitu indah ciptaan sang Khalik.

8.Di Baruga Saoraja Bone nan asri. Lapawawoi Karaeng Sigeri dan permaisuri. Duduk tenang di atas Tappere Boddong. Rituddukeng Lamangolokkelling Cempanigae. Diapit Pattetteng dan Jowa pemberani.

9.Di bawah nuangan Teddung Pulaweng dan bendera Kerajaan SamparajaE. Arungpone bersama permaisuri. Dihibur Tari Pajoge dan lagu Ongkona Bone oleh Bissu pengawal setia Saoraja.

10.Gendang dipukul bertalu-talu. Lagu berdendang begitu syahdu. Lemah gemulai penari bisu. Indah nian menyejukkan hati. Mengikuti irama klasik Tana Ugi.

11.Di hati Arungpone dan permaisuri. Timbul kekaguman yang sangat mendalam. Betapa tinggi budaya Leluhur. Warisan Kerajaan Bone di Tanah Ugi. Kembanggaan SEMPUGI di Celebes Selatan.

12.Langit Kerajaan Bone pagi itu. Nampak cerah diliputi udara sejuk. Tak terbayang akan datang mendung kelabu. Tak terpikir akan munculnya prahara. Yang membuat Tana Ugi bergolak.

13.Di atas Singgasana Kerajaan Bone. Arungpone bersama permaisuri. Nampak tegar dan tenang penuh wibawa. Di wajahnya terbaca gurat kepemimpinan. Selaku raja yang bijak dan berhati jernih.

14.Seorang Pengawal datang melapor. Atas datangnya utusan Arung Tanete. Untuk menyampaikan suatu berita. Dari Hasil pengamatan di sepanjang pantai. Antara Ujung Pattiro-Ujung Pallette.

15.Kemeriahan pun seperti tersentak. Bunyi gendang, suling, dan kecapi. Semua berhenti tak lagi terdengar. Gerak gemulai penari-penari Bissu. Nampak terkulai seperti lesu dan kaku.

16.Keluarga Saoraja diliputi kecemasan. Di wajah permaisuri terbaca kebingungan. Kecuali Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Kelihatan tetap tegar dan sangat tenang. Menanti berita dari utusan Arung Tanete.

17.Hasil pengamatan Arung Tanete. Di sana di Perairan Teluk Bone. Kelihatan banyak kapal beriring-iring. Berlayar dari selatan menuju utara. Semakin dekat di Pantai Bajoe.

18.Mendengar itu, Arungpone tertunduk. Lalu bangkit menganggukkan kepala. Menyimak dalam lubuk hatinya. Akan makna laporan dari Arung Tanete. Entah gejolak apa yang timbul di benaknya.

19.Tatapan matanya menerawang jauh. Memandangi cakrawala tak terbatas.. Ada kemelut yang sulit dipecahkannya. Menimbulkan seribu tanda tanya. Di hati permaisuri dan keluarga Saoraja.

20.Dengan suara datar Arungpone bertutur. Mengungkap misteri laporan Arung Tanete. Bahwa kapal-kapal yang beriring-iring. Di sana di perairan Teluk Bone Adalah milik Belanda si Putih Mata.

21.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menitip pesan kepada Arung Tanete. Agar tetap melakukan pengamatan. Akan maksud kedatangan kapal Belanda. Yang semakin mendekat di Pantai Bajoe.

22.Sebab menurut pikiran Arungpone. Belanda selalu berupaya untuk mencaplok dan menjajah. Menanamkan kuku-kukunya di atas bumi Kerajaan Bone yang subur.

23.Kepada Arung Tanete dan Rakyatnya. Arumpone minta agar tetap tenang. Menunggu perintah dari Saoraja. Dari kesepakatan antara Mangkau’E. Dengan segenap anggota Hadat Bone.

24.Kesepakatan dan kebulatan tekad. Dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih. Untuk membela dan mempertahankan. Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyatnya. Dari cengkeraman tangan-tangan penjajah.

25.Kecemasan dan kegelisahan permaisuri. Nampak jelas di wajahnya yang bening. Dengan pandangan sayu menatap arungpone. Mengharap jawaban penyejuk hati. Tentang kedatangan kapal-kapal Belanda.

26.Sementara di perairan Teluk Bone. Berkumpul eskader kapal perang Belanda. H.M. Hendrik Hertog pembawa bendera. Diatasnya Komandan Eskader Matra Laut. Mengadakan rapat dengan Panglima Tempur.

27.Melalui teropong dari atas kapal. Nampak keindahan alam Kerajaan Bone. Sawah dan ladang terbentang luas. Pohon lontar dan nyiur melambai-lambai. Sungai-sungai mengalir dengan jernih.

28.Bukit dan gunung berhutan lebat. Binatang ternak berlarian kian kemari. Burung-burung beterbangan di udara. Ombak memutih memecah pantai. Panorama alam indah menawan hati.

29.Keindahan itulah membuat Belanda semakin bernafsu. Untuk segera melakukan pendaratan. Bagai kelompok singa kelaparan. Mengintai buruannya di balik belukar.

30.Suasana di Saoraja semakin galau. Seluruh penghuni dicekam kecemasan. Permaisuri melangkahi mendekati Arungpone yang tetap tegar dan tenang di tempatnya. Selaku raja yang berpikiran tajam.

31.Dengan suara lembut permaisuri bertanya. Apa betul kapal-kapal itu milik Belanda. Datang untuk menyerang Kerajaan Bone. Lalu bagaimana langkah-langkah Arungpone. Dalam mempertahankan dan menyelamatkan rakyatnya.

32.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Membujuk permaisuri yang nampak gelisah. Menenagkan gejolak dalam hati dan pikirannya. Tawakkal kepada Allah dan Nabi-Nya.

33.Tellabu Essoe ri Tengngana Bitarae. Segalanya berjalan menurut kodratnya. Demikian Arungpone membujuk permaisuri. Dan segenap keluarga penghuni Saoraja. Yang nampak bingung penuh kecemasan.

34.Arungpone tetap yakin dan percaya. Kerajaan Bone sangat kuat dan tangguh. Dengan ribuan Laskar Pakkanna Passiuno. Yang rela mati berlumuran darah merah. Dari pada hidup di jajah Belanda.

35.Belanda boleh menerobos pertahanan Bone. Setelah melangkahi ribuan laskar. Dengan semangat patriotis sejati. Siap bertarung di Walawala Bessie. Bermandi darah di Appasareng Kannae.

36.Mendung kelabu di atas kerajaan Bone. Nampak semakin tebal, pekat dan hitam. Pertanda bakal datangnya malapetaka. Angin puting beliung telah berhembus. Disertai Guntur dan kilat menyambar-nyambar.

37.Permaisuri kelihatan semakin gelisah. Arungpone seperti tak berhenti berpikir. Penghuni Saoraja dicekik ketakutan. Perang bakal berkobar meminta korban. Tana Ugi sebentar lagi bersimbah darah.

38.Dalam suasana yang semakin galau. Seorang lagi pengawal datang melapor. Atas kedatangan dua orang tamu asing. Karaeng Marusu bersama temannya. Utusan Belanda dari perairan Teluk Bone

39.Laporan itu mengejutkan permaisuri. Kekesalan di hatinya terbayang di wajahnya. Meluap bagai nyala api dihembus angin. Dengan kalimat meledak tak terkendali. Menolak kedatangan utusan Belanda.

40.Bangkit berdiri Sang Permaisuri. Melepas uneg-uneg yang menggurita. Dalam hatinya yang panas membara. Agar Karaeng Marusu bersama temannya tidak memasuki halaman Saoraja.

41.Arungpone yang bijak berhati lembut. Kembali menenangkan permaisuri. Menyiram nyala api yang meluap. Agar tidak menampakkan kekesalan kepada karaeng Marusu bersama teman.

42.Di pintu Saoraja yang dijaga pengawal. Karaeng Marusu bersama temannya. Membungkuk memberi penghormatan. Lalu keduanya langsung duduk bersila di depan Arungpone dan Permaisuri.

43.Dengan kalimat bergetar putus-putus. Karaeng Marusu kepada arungpone. Bahwa dirinya utusan Komandan Belanda. Yang sekarang berada di atas kapal. Menunggu kabar di perairan Teluk Bone.

44.Tertegun Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menyimak berita dari utusan Belanda. Berpikir dan berpikir mencari yang terbaik. Gurat-gurat kewibawaan kembali terbaca di wajahnya yang nampak semakin menua.

45.Kemudian memandang jauh ke depan. Sejauh analiasa dan bisikan hatinya. Membayangkan Kerajaan bone yang subur buminya. Membayangkan wajah-wajah Rakyatnya.

46.Selaku raja yang memiliki firasat. Nalar dan mata batin yang tajam. Kalimat yang sarat makna filosofi. Arungpone menjawab tawaran Belanda. Kepada karaeng Marusu bersama temannya.

47.Arungpone menyemak dan memahami. Kedatangan Belanda di Teluk Bone. Namun tidak bisa bertindak sendiri. Untuk menerimanya mentah-mentah. Harus didukung oleh Hadat Tujuh Kerajaan Bone.

48.Dengan kalimat putus-putus dan ragu. Karaeng Marusu mengajukan pertanyaan. Tentang sikap dan langkah Arungpone. Menerima atau menolak tawaran Belanda. Karena dia tidak bisa berlama-lama.

49.Dengan tenang Arungpone menjawab. Di Kerajaan Bone yang saya cintai ini. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Disebut “ Ade Mappura Onrona Bone” Warisan Leluhur yang dijunjung tinggi.

50.Apapun yang akan dilakukan di Bone. Harus lahir dari musyawarah dan mufakat. Antara Mangkau selaku raja disitu pihak. Dan anggota Hadat Bone dilain pihak. Sebagai wujud demokrasi sejati.

51.Jadi tentang maksud tawaran Belanda. Arungpone tidak bisa menetukan sekarang. Menunggu hasil musyawarah dan mufakat. Diterima sebagai awal suatu persahabatan. Atau ditolak sebagai awal pecahnya perang.

52.Setelah mendengarkan pesan Arungpone. Karaeng Marusu dan temannya mohon pamit. Dengan langkah gontai meninggalkan saoraja. Berjalan ke arah timur menuju Pantai Bajoe. Dengan hati yang dongkol, kesal dan kecewa.

53.Di Pelabuhan Bajoe keduanya naik sampan. Menuju kapal S.S.Riemsdijk di Teluk Bone. Di mana Panglima ekspedisi van Loenen. Dengan perasaan cemas penuh harap. Telah lama menunggu kedatangannya.

54.Di depan Panglima Ekspedisi Van Loenen. Karaeng Marusu dan temannya menyampaikan. Pesan yang mengisyaratkan penolakan dari Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Raja yang mematuhi kehendak rakyatnya.

55.Kabar itu membuat Van Loenen naik darah. Kehendaknya dilecehkan dan tidak digubris. Wajah bengis memandang ke arah pantai. Nafsu serakahnya menggerogoti kepikirannya. Menyerang Bone dengan kekuatan senjata.

56.Suatu ultimatum bernada ancaman. Ditulisnya dengan emosi meluap-luap. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam. Kehendak tidak diiyakan dan dipenuhi. Maka Kerajaan Bone segera dibumihanguskan.

57.Ultimatum Tertanggal Sembilan Belas Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Diberikan kepada La Pattola Daeng Massappo. Orang Bone yang diinterner di Ujung Pandang. Agar secepatnya diberikan kepada Arungpone.

58.Menerima Ultimatum dan ancaman demikian. Tidak membuat hati Arumpone menjadi gentar. Sebagai Raja Bugis yang mempunyai harga diri. Darah Bugis dan patriotisnya mendidih. Bertekad melawan Belanda Si Putih Mata.

59.Baginya tidak ada kata untuk menyerah. Apalagi tunduk di bawah kekuasaan penjajah. Harga diri sebagai Orang Bugis Wija To Bone. Toddopuli Siri Napesse harus ditegakkan. Demikian bisikan yang muncul di hatinya.

60.Segenap Anggota hadat Tujuh diundang. Arung Ponceng, Arung Tanete Riawang, Arung Macege, Arung Tanete Riattang, Arung Ta’, Arung Ujung, Arung Tibojong. Agar segera datang berkumpul di Saoraja.

61.Diundang pula Abdul Hamid Baso Pagilingi. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Bersama Seluruh pimpinan Laskar Pemberani. Untuk datang memenuhi undangan Arungpone. Guna menanggapi Ultimatum dari Belanda.

62.Hanya berselang beberapa saat saja. Semasih daun sirih belum hancur terkunyah. Dan periuk di dapur belum juga mendidih. Para undangan berdatangan dari segala arah. Semua hadir memenuhi undangan Arumpone.

63.Setelah semuanya tenang di tempat duduk. Arung Ponceng bertanya kepada Arungpone. Mungkin ada sesuatu yang penting dibicarakan. Sehingga Puatta Arungpone mengundang kita. Untuk datang dan berkumpul di Saoraja.

64.Sebelum mengemukakan maksud undangannya. Arungpone menatap satu-satu tamu yang hadir. Tatapannya mulai dari anggota hadat Tujuh Bone. Sampai kepada Abdul Hamid Baso Pagilingi. Dan Pimpinan Laskar Pakkanna Passiuno.

65.Dengan suara serak-serak basah. Lapawawoi Karaeng Sigeri mulai bicara. Sebagai Orang Bugis yang punya harga diri. Yang menjunjung tinggi Ade- Pangadereng. Kita perlu menyatakan pendapat.

66.Semua yang hadir nampak semakin gelisah. Menunggu lanjutan pembicaraan Arungpone. Membuat suasana menjadi hening sejenak. Tak seorangpun yang mengeluarkan kata. Sementara Permaisuri nampak tertunduk.

67.Dengan tarikan nafas yang panjang. Arungpone melanjutkan pembicaraan. Tentang datangnya dua orang utusan Belanda. Mengajak untuk menjalin kerjasama. Mengelola Pelabuhan Pallime dan Bajoe.

68.Selanjutnya Belanda akan mempersatukan. Jumpandang, Bone, Luwu, dan Tanah Toraja. Menurut pikiran Lapawawoi Karaeng Sigeri. Itu merupakan awal dari sebuah jebakan. Untuk menggiring ke dalam bentuk penjajahan.

69.Dari saku Arungpone ditariknya secarik kertas. Ultimatum yang diterimanya dari Belanda. Kalau keinginan yang ditawarkan ditolak. Kerajaan Bone akan diserang dan dihancurkan. Dalam tempo satu kali duapuluh empat jam.

70.Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Baso Pagilingi Petta Ponggawae naik darah. Berdiri dan menghormat kepada Arungpone. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Jiwa patriotis, semangat kesatrianya tergugah.

71.Menurut pandangan mata batinnya. Suatu malapetaka terbayang di depannya. Kerajaan Bone akan hancur porak-poranda. Seluruh rakyatnya hidup di bawah penjajahan. Apabila keinginan Belanda itu diterima.

72.Lalu Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Memohon ampun kepada Ayahandanya. Juga kepada Seluruh anggota Hadat Bone. Agar mempertimbangkan matang-matang. Untuk menerima ajakan dan tawaran Belanda.

73.Sebab menurut yang muncul di benaknya. Belanda tidak bisa dipercaya omongannya. Pantang untuk diikuti segala keinginannya. Apalagi menerima apa yang ditawarkannya. Di hatinya sejali sekalindang sifat penjajah.

74.Berdiri menghormat pula Arung Ponceng. Salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone. Membenarkan ucapan Petta Ponggawe. Diamini oleh anggota hadat Tujuh lainnya. Menolak tawaran Belanda Si Putih Mata.

75.Dulung Ajangale, Lamuru, Awang Tangka, arung Palili dan Pimpinan Laskar pemberani. Menyatakan siap mengamankan kesepakatan. Arungpone dengan Hadat Tujuh Bone. Walau harus ditebus dengan harta dan nyawa.

76.Lapawawoi Karaeng Sigeri kecintaan rakyat. Memandang ke kiri, ke kanan lalu tersenyum. Ini namanya terpaut ujung dan pangkalnya. Telah bertemu pula buku dan ruasnya. Pedapatnya seirama pendapat rakyatnya.

77.Dengan gurat-gurat usia yang nampak menua. Arunpone mengajak semua yang hadir. Menggalang kekuatan menghimpun tenaga. Mengangkat senjata melawan penjajah. Membela Kerajaan Bone dan rakyatnya.

78.Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Selaku Panglima Perang mendapat perintah menghimpun kekuatan. Untuk menghadapi serangan serdadu Belanda. Mulai Ujung Pattiro hingga Ujung Pallette.

79.Perintah yang sangat ditunggu-tunggu. Disambutnya dengan mengucapkan ikrar. Berdiri dan mencabut keris “Raja Bagusu” keris pusakanya yang selalu menyertainya. Diayunkan ke kiri maupun ke kanan penuh semangat.

80.Matanya merah menyorot bagai bara api. Bersumpah dan berikrar untuk tetap setia. Membela dan mempertahankan Kerajaan Bone. Rela mati ditembus peluru penjajah.

81.Mendengar ikrar Baso Pagilingi. Semangat Patriotik hadirin seperti tersulut api. Gelora jiwa kesatria nampak terbaca. Di wajah para pemberani Kerajaan Bone. Arungpone tenang dan tegar di tempatnya.

82.Tidak ketinggalan pula Arung Tanete. Dengan sorotan mata menyala-nyala. Memberi hormat kepada Arungpone. Mencabut keris pusaka kesayangannya. Mengucapkan ikrar menghadapi Belanda.

83.Darah kesatria Arung Sailong tergugah. Semangat membara membatu. Diteriakkan dengan lantang ikrarnya di depan Arungpone dan Permaisuri. Dan Seluruh undangan yang hadir.

84.Setelah sejumlah Pakkanna Passiuno. Mengucapkan ikrar masing-masing. Berdirilah Permaisuri dengan tegarnya. Mendekati Baso Pagilingi lalu menepuk bahunya membakar semangatnya.

85.Berdoa kepada Allah dan Nabi-Nya. Semoga melindungi dari serangan musuh. Semoga Seluruh Laskar Kerajaan Bone. Diberi kekuatan dan kemampuan tempur menghadapi Belanda.

86.Setelah diberkahi kedua orang tuanya. Baso Pagilingi selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Begitu gagah melangkahi ke depan. Mengarah ke timur menuju medang juang.

87.Diikuti oleh Laskar Passiuno. Di hatinya hanya dua pilihan. Hidup atau mati demi Tana Ugi. Siri na Pesse mendorong langkahnya.

88.Rerumputan dan bebatuan sepanjang jalan. Seperti memberinya semangat untuk maju. Menantang keangkuhan serdadu Belanda. Yang kini berada di perairan Teluk Bone. Siap memuntahkan peluru meriamnya.

89.Di Bawah Komando Petta Ponggawae. Kelompok Laskar dibagi dalam tiga arah. Kelompok pertama menuju Ujung Pattiro. Kelompok kedua menuju Lona dan BajoE. Kelompok ketiga menuju Ujung Pallette.

90.Sepanjang jalan yang dilaluinya. Menuju medan perang yang dahsyat. Para Laskar dengan semangat menyala. Terus melengkingkan” Osong Pakkanna. “Ada Passokkang” lagu perjuangan.

91.Bagai lebah beterbangan di udara bebas. Membuatnya tak gentar, nyalinya tak ciut. Tombak dan kelewang diayun-ayunkan. Pedang dan keris pusaka dihunuskan. Meriam dan senapan ringan disiagakan.

92.Dari pantai Bajoe hingga Ujung Pallette. Dan di Ujung Pattiro bahagian selatan. Dipenuhi ribuan Laskar Kerajaan Bone. Mendengungkan Osong Pakkanna. Siap menghadapi pendaratan Belanda.

93.Di atas kapal H.M.Koningin Regentes. Panglima ekspedisi Belanda Van Loenen. Mengamati tempat yang layak untuk pendaratan. Lewat teropong pengintai dari atas kapal. Dari Ujung Pattiro ke Ujung Pallette.

94.Tanggal dua puluh satu bulan Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Kapal-kapal Belanda semakin mendekat. Suatu pertanda pendaratan akan dilakukan. Sekoci-sekocipun mulai diturunkan.

95.Pukul Enam Sore kurang sepuluh menit. Ketika matahari menukik ke peraduannya. Van Loenen dari kapal S.S.Van Riemsdijk. Mengeluarkan perintah pendaratan. Berarti perang terbuka mulai berkobar.

96.Dentuman meriam dan senapan ringan. Terdengar gemuruh memekakkan telinga. Dimuntahkan dari atas kapal ke arah pantai. Dibalas oleh Laskar Pemberani Kerajaan Bone. Dari pantai Bajoe, Lona, dan Tippulue.

97.Pertempuran sengit tak dapat dielakkan. Laskar Kerajaan Bone bertahan mati-matian. Mengadu kekuatan dan meregang nyawa. Sementara serangan Belanda semakin gencar. Mengarah ke Tippulue dan Kampung Lona.

98.Ponggawa Bone membakar semangat Laskarnya. Semboyan Siri Na Pesse diteriakkan lantang. Disambut sorak-sorai para Laskar Passiuno. Semua maju menyongsong kedatangan Belanda.

99.Arena pertempuran mencekam dan menakutkan. Kilat-kilat peluru berhamburan di udara leluhur Bugis. Bola-bola api beterbangan silang-menyilang. Pemandangan yang langka bagi Rakyat Bone. Pantai Bajoe bagai neraka mengerikan.

100.Jatuh tersungkur sejumlah Laskar Passiuno. Berguguran bagai kembang semerbakwangi. Cucuran darah merah terlihat di mana-mana. Menganak sungai di Bumi leluhur Bone. Pahlawan Tana Ugi mengukir sejarah.

101.Banyak Laskar tak sempat dibalut lukanya. Banyak juga tak sempat dikenal wajahnya. Tergeletak berlumuran darah di mana-mana. Tak ubahnya onggokan batang pisang. Di alur-alur sungai dan ditengah persawahan.

102.Udara pesisir Timur Tana Bone malam itu. Sungguh sangat mencekam memalukan. Muntahan peluru meriam adalah pandangan mengerikan. Bagai bintang berguguran dari langit yang biru.

103.Gugurlah pahlawan-pahlawan Tana Ugi ialah Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara. Begitu pula Arung Sigeri Keluarga Arungpone. Dan sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya.

104.Serangan serdadu Belanda semakin membabi buta. Laskar Kerajaan Bone mundur ke arah barat. Petta Ponggawae tetap bertahan di Cellu. Daeng Marola Arung Ponre terkena peluru namun nafas masih ada. Diantar oleh sejumlah laskar menuju Saoraja.

105.Di tengah berkecamuknya pertempuran. Petta Ponggawae mengirim pesan ke Saoraja. Agar Puatta Arungpone berpindah tempat. Dari saoraja ke Palakka yang lebih aman. Bersama Seluruh keluarga dan isi Saoraja.

106.Menerima pesan dari Petta Ponggawae. Arungpone minta pandangan permaisuri. Juga kepada Arung Ponre Daeng Marola. Yang tiba di Saoraja dalam keadaan luka. Bertahan di Saoraja atau berpindah ke Palakka.

107.Kepada Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Arung Ponre dengan hormat melaporkan. Bahwa Laskar Bone tak dapat lagi membendung serangan Belanda. Persenjataan sangat tidak seimbang. Perlu pertimbangan untuk mundur selangkah untuk maju seribu kali.

108.Setelah bertukar pendapat dengan Permaisuri. Dan segenap keluarga Saoraja lainnya. Memperhitungkan baik dan buruknya. Prinsip berpindah tempat bukan berarti kalah. Namun sebagai langkah penyelamatan terhadap Arungpone.

109.Usungan disiapkan untuk Puatta Arungpone. Benda-benda Kerajaan dikemas oleh para Bissu pengawal Saoraja. Tombak dan bendera SamparajaE disiapkan. Tinggal menunggu perintah dari Arungpone.

110.Lapawawoi Karaeng Sigeri di atas usungan. Sejenak memandangi Puncak Saoraja. Bagai mengucapkan selamat tinggal istanaku. Bila Allah dan nabi-Nya memberiku kekuatan. Akan aku kembali bernaung di bawah atapmu.

Bersambung .......................................................

Teluk Bone

Raja Bone ke-3

Dialah yang menggantikan pamannya menjadi Arumpone. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedang Tana adalah To Sulewakka.

Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau atau Daeng Marowa, We Pattana Daeng Mabela yang digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya ; Puatta Lawelareng.

Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat ; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar.

La Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong / angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate (bendera) yang bernama ; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).

Pada saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.

Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti ; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone.

Beberapa negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti ; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.

Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima.

Selanjutnya Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.

Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa ;

”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE”.

Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone ; ”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.

Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.

Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.

La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.

Raja Bone ke-2

Dialah yang menggantikan La Ubbi ManurungE ri Matajang sebagai Mangkau’ di Bone. Setelah La Ummasa meninggal maka digelarlah To Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). Mangkau’ ini hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung di Bone.

La Ummasa digelar pula Petta Panre BessiE (pandai besi) karena dialah yang mula-mula menciptakan alat-alat dari besi di Bone. Di samping itu La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki berbagai kelebihan seperti ; daya ingatnya tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana.

Saudara perempuannya yang bernama We Pattanra Wanuwa kawin dengan Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng. Konon La Ummasa pernah bermusuhan dengan iparnya selama tiga bulan dan tidak ada yang kalah. Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Untuk memperluas wilayah pemerintahannya, La Ummasa menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya, seperti ; Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu.

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan,To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari orang biasa atau bukan turunan bangsawan. Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanuwa akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya We Pattanra Wanuwa yang diperisterikan oleh Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng.

Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan ; ”Kalau Puammu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari-arinya dan ditanam tembuninya”.

Tidak berapa lama setelah To Suwalle dan To Sulewakka tiba di istana We Pattanra Wanuwa, lahirlah anak laki-laki yang sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakan Karampeluwa. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka tidak ada di tempat dan tindakan itu menyakitkan hatinya.

Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong ari-arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.

Arumpone La Ummasa mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera WoromporongE dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan ; ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian mangngaru (mengucapkan sumpah setia).

Dilantiklah La Saliyu Karampeluwa oleh pamannya La Ummasa menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dalam acara itu pula nariule sulolona (selamatan atas lahirnya) dan ditanam tembuninya. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampeluwa ke LangkanaE (istana).

Sejak dilantiknya La Saliyu Karampeluwa menjadi Arumpone, maka setiap La Ummasa akan bepergian selalu menyampaikan kepada pengasuhnya dalam hal ini saudaranya sendiri yang bernama We Samateppa.

Suatu saat La Ummasa sakit keras yang menyebabkan ia meninggal dunia, maka digelarlah ; La Ummasa Mulaiye Panreng (orang mula-mula dikuburkan).

Raja Bone ke-4

We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya. Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang (penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.

Setelah kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina.

Suatu saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya. Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.

La Tenri Sukki yang menggantikan ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.

Anak La Tenri Sukki yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung di Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng di Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.

Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa

Raja Bone ke-5

Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.

Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.

Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ; ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar MappajungE (memakai payung).

Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama ; Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi).

Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ; ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”. Dijawab oleh Datu Luwu ; ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”.

Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata ; ”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan – kalau ada yang rebah mari kita saling menopang – dua hamba satu Arung – tindakan Luwu adalah tindakan Bone – tindakan Bone adalah tindakan Luwu – baik dan buruk kita bersama – tidak saling membunuh – saling mencari kebaikan – tidak saling mencurigai – tidak saling mencari kesalahan – walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone – walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu – bicaranya Luwu, bicaranya Bone – bicaranya Bone, bicaranya Luwu – adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya – kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda – barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya – dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu –”

Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.

Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata ; ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”.

Arumpone menjawab ; ”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.

La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”. Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah ; La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa.

Selain La Uliyo, ialah ; We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).

We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.

Raja Bone ke-6

La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.

La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate ;

”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.

Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong.

Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.

Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa ; ”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”. Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.

La Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.

La Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang.

Setelah sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara’

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju.

Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.

Raja Bone ke-7

La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.

La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.

Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.

Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.

TellumpoccoE juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.

Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.

Saudara Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.

Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.

Hanya kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.

Sementara orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.

Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki kebaikan”.

Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.

Ketika menjadi Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.

Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.

Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar ; ”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.

Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).

Ketika sampai pada hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.

Pertemuan tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.

Arumpone menjawab ; ”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.

Berkata pula PollipuE ri Soppeng ; ”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo ; ”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata ; ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.

Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.

Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ; ”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.

Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).

Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.

Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).

Karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.

Raja Bone ke-9

Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang. Kepada orang banyak, Arung Majang berkata ; “Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya”.

La Pattawe adalah anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka turunan MakkaleppiE. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone.

La Pattawe Daeng Soreang kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging.

Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri Nagauleng.

La Pattawe, tidak terlalu banyak disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah dia sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.

Raja Bone ke-10

We Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk, adalah ; Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng).

We Tenri Patuppu berkata kepada Arung PituE ; ”Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua turunan MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone.

Pada masa pemerintahan We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan TellumpoccoE.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng yang menerima Islam bernama BeowE.

Setelah Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo memeluk Islam.

Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.

Semasa hidupnya We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung Kading.

Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.

We Bubungeng dan La Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu juga di Soppeng.

We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.

La PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.

Anak terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah ; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.

Raja Bone ke-11

La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone.

Belum cukup tiga bulan setelah menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang Bone ; ”Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.

KaraengE ri Gowa berkata ; ”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata SeuwaE (Allah SWT).

Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.

Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.

Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La Mallalengeng menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya”.

Arumpone menjawab ; Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.

Ketika To Alaungeng kembali ke Bone, Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke Pallette untuk bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara berkedudukan di Pallette. Begitu pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya Karaeng Pettu di Pattiro dan bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu dikepung oleh orang Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama Karaeng Pettu meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging.

Setelah itu, pergilah Arumpone menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu tinggal menjaga Pattiro. Di Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh KaraengE ri Gowa ; ”Sampai dimana batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut berita bahwa akkarungeng telah berpindah di Bone”. Arumpone menjawab ; ”Yang menjadi milikku adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo adalah milik isteriku”.

Berkata lagi KaraengE ; ”Sekarang ucapkanlah syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima Islam. Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu”. Arumpone menjawab ; ”Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga saya kemari”.

Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata ; ”Saya juga tahu bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat berdirinya bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun saya berikan kembali kepadamu”.

Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo dan Arumpone berikrar ; Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.

Setelah ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama, dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya.

Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi nama Arab yaitu Sultan Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE ri Gowa. Tempat yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia meninggal, oleh karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng.

La Tenri Ruwa kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang kemudian disebut juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui. We Tenri Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung Patojo saudara kandung Datu Soppeng yang mula-mula memeluk Islam yang bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We Bubungeng yang berarti bersaudara kandung dengan We Tenri Sui.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu Lompengeng MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada juga yang bernama We Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal diwaktu kecil), We Tenri Wempeng Daunru (meninggal diwaktu kecil), La Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil), selanjutnya We Kacimpureng Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya.

We Bubungeng I Dasajo Arung Pattojo diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yada MatinroE ri Madello.

Arung Tanatengnga kemudian kawin lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe dengan suaminya La Page Datu Mario Riwawo.

Adapun La Tenri Tatta To Unru diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga digelar sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya yang bernama We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo dari suaminya MatinroE ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak melahirkan seorang anak, akhirnya bercerai.

Isteri La Tenri Tatta yang paling dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak ada keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir hayatnya tidak memiliki keturunan.

Saudara kandung La Tenri Tatta yang bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi Maddanreng ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari Mangkasar, orang Bone menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo BombangE kawin dengan La PakokoE Arung Timurung yang juga Ranreng di Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng.

Sedangkan saudara kandung La Tenri Tatta yang lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La Tenri Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario Riwawo. We Tenri Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng Mattajang Karaeng Tanete, turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu lahir dua orang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dan We Tenri Lekke’.

We Pattekke Tana kawin dengan PajungE ri Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri Pattiro. We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We Tenri Leleang Datu Luwu dan La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung Pattiro dan Datu Tanete. Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari.

Adapun anak Batara Tungke yang bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana, kawin dengan La Pasau Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre Wajo.

We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya To Lempe Arung Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng I Dasajo inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Bali MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yadda MatinroE ri Madello.

La Tenri Senge’ To Wesang kawin dengan We Pada Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE. Dari perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil). Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili. La Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari perkawinan itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung Pattojo. La Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang bernama La Barahima.

Selanjutnya La Mappassili kawin lagi dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah Batara Tungke MatinroE ri Pattiro denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile MatinroE ri Suppa. Inilah yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung.

Anak berikutnya adalah We Tenri Abang Datu Watu Arung Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah yang tewas dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso Tancung pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring Karaeng Tanete.

Kembali kita bicarakan La Pottobune’ dengan isterinya We Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page yang kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu Lompulle kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah La Malleleang To Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo. Selanjutnya La Panamangi kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We Tenri Datu Botto.

We Tenri Datu Botto kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dengan suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri dengan La Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario Riwawo. La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang janda dari La Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila Karaeng Tanete. La maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu Citta, anak dari La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya yang bernama Sitti Habiba.

Selanjutnya We Tenri Leleang janda dari La Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan We Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu Lamuru MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E Datu Lamuru.

Kemudian We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang kawin dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri Lawa Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La Sengngeng MatinroE ri Salawa’na.

We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga sebagai Datu Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri Bakke. Inilah yang kawin dengan PajungE ri Luwu yang bernama La Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.

Raja Bone ke-13

La Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone berjanji bahwa ;

- La Tenri Pale ; ”Siapa yang mengingkari janji, dialah yang menanggung resiko buruknya”

- Orang Bone ; ”Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima imbalan

kebaikan itu”

Setelah saling mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.

Sesampainya di Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ; Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su (Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Tallo.

Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.

La Maddaremmeng kawin di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.

La PakokoE Toangkone kawin dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.

Selanjutnya La Maddaremmeng kawin lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.

Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.

Isteri La Maddaremmeng yang lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.

Raja Bone ke-12

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.

Inilah Mangkau’ di Bone yang membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam. Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.

Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru, tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di Galingkang.

Katika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di Bone.

Sedangkan Saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka.

Satu tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Mangkasar menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba.

Selama menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: Juni 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates