Kamis, 28 Februari 2013

Peringatan 67 Tahun Pemberontakan PETA Blitar

Dalam rangka peringatan 67 tahun peristiwa Pemberontakan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Shodancho Suprijadi di Blitar, bertempat di Museum PETA Bogor telah diadakan upacara dan Sarasehan. Foto: Atas, Museum PETA Bogor dengan patung Suprijadi didepan. Bawah, para panelis sarasehan: Bapak Alwin Nurdin, Bapak Purbo Suwondo, Bapak Tinton Suprapto (ketua Yayasan PETA) Bapak Sutjipto Kertadjaja dan Bapak Halim Danoeatmodjo. Semoga ada gunanya....

Rabu, 27 Februari 2013

Mr Kasman Singodimejo

Mr. Kasman Singodimedjo (lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 – meninggal di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada umur 78 tahun) adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946 menggantikan Mr Gatot yang mengundurkan diri dalam kabinet RI pertama. . Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Di zaman Jepang Pak Kasman adalah salah satu Daidancho (pimpinan batalyon) Tentara Pembela Tanah Air atau PETA. Markas Batalyonnya terletak Harmoni disebelah Bank Tabungan Pos yang sering disebut Batalyon Jaga Monyet. Selama hidupnya aktif dalam idiologi Islam misalnya Masjumi dan Parmusi. Anehnya saat muda adalah anggota kepanduan Surja Wirawan yaitu organisasi pemuda dibawah Parindra.

Selasa, 26 Februari 2013

Sejarawan Asvi Marwan Adam: Ilyas Karim berbohong mengaku kibarkan bendera


Sabtu, 03-September-2011 (16:19:39 WIB) Khresna Guntarto (http://m.gresnews.com/baca/161939-sejarawan-ilyas-karim-berbohong-mengaku-kibarkan-bendera)
Jakarta - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam, membenarkan pendapat Sekjen DPP Legiun Veteran, Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono S K, yang menyebut Ilyas Karim (84) bukanlah pengibar bendera merah putih pada 17 Agutus 1945, di Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi.
"Iya, saya sependapat dengan Sekjen Legiun Veteran ini. Saya sudah pernah tampil dalam suatu acara di Jak TV bersama dengan Ilyas Karim. Saya meragukan apa yang disampaikan Ilyas Karim ini," kata Asvi saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (3/9).
Menurut Asvi, pendapatnya itu sudah disampaikan sekitar satu atau dua tahun lalu di stasiun televisi swasta lokal itu. Namun, Asvi mengaku heran, belakangan ini Ilyas Karim kembali diangkat oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.
"Saya heran tiba-tiba salah satu televisi, yakni TV One pada 17 Agustus menampilkan Ilyas Karim sebagai tokoh acara 17 Agutus di Tugu Proklamasi. Itu yang menyebabkan dia mendapatkan hadiah," tutur Asvi.
Asvi menilai, Ilyas telah berbohong karena beberapa pernyataan-pernyataannya kurang tepat. Misalnya, pengakuan Ilyas yang ikut membawa Soekarno ke Rengas Dengklok.
"Sepengetahuan saya nama Ilyas Karim itu tidak ada. Tidak ada pemuda bernama Ilyas Karim. Itu kan pengakuan baru muncul setelah semua saksi mata meninggal," kata Asvi.
Selain itu, sambung Asvi, kejanggalan juga terletak pada pengakuan Ilyas yang tinggal di Asrama Menteng bersama Dari Laskar Hizbullah. "Setahu saya tidak ada Laskar Hizbullah yang tinggal di sana," katanya.
Lalu, mengenai pengakuan Ilyas yang menyebut pengibaran bendera dibantu oleh Singgih. Menurut Asvi nama Singgih memang tercatat dalam jajaran pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Tapi, Singgih bukan pengibar bendera.
"Memang ada tapi bukan pengibar bendera," kata Asvi.
Oleh sebab itu, disimpulkan Asvi, keterangan Ilyas Karim tidaklah tepat. Kendati demikian, sambungnya, ketidaktepatan ini untungnya sudah pernah diungkap ke publik oleh televisi swasta yang mengangkat kehadiran Ilyas.
"TV One sudah meralat dengan menghadirkan keluarga Soehoed dan Latief (Soehoed dan Abdul Latief Hendraningrat dari Barisan Pelopor). Mereka protes," ungkap Asvi.
Rubrik Surat Pembaca Kompas hari ini (hal 7) ada surat dari Sekjen DPP Legiun Veteran RI, Wahyono, bahwa Ilyas Karim (84) yang mengaku sebagai pengibar bendera merah-putih 17 Agstus 1945 di Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, berbohong. Pengibar yang benar adalah Abdul Latief Hendraningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Sementara Ilyas Karim pada 17 Agustus 2011 mendapat apartemen dari PT. Pradani Sukses Abadi di Kalibata City.
Foto: Asvi Warman Adam peneliti sejarah LIPI (kiri), Ilyas Karim dalam seragam TNI dengan pangkat Let.Kol (kanan)

"Snapshot" Amir Sjarifoeddin


Oleh: Rosihan Anwar
Membaca tulisan Sabam Siagian berjudul Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin (SP 31 Mei 2008) tampil lagi di layar ingatan saya beberapa snapshot Bung Amir, sebagaimana saya mengenalnya pada zaman pendudukan Jepang dan hari-hari pertama revolusi Indonesia. Pada suatu malam pertengahan 1942, zaman Jepang, di sebuah gedung di jalan yang kini bernama Merdeka Barat, Jakarta, Barisan Pemuda Asia Raya digembleng oleh Mr Amir Sjarifoeddin, pemimpin nasionalis terkenal. Atas dorongan Dr Abu Hanifah, saya dan Usmar Ismail memasuki perkumpulan Barisan Pemuda Asia Raya, yang selain dilatih berbaris secara militer oleh dua mantan opsir tentara KNIL juga diberi ceramah- ceramah mengenai nasionalisme. Bung Amir menguraikan sejarah pergerakan nasional dan menganjurkan agar pemuda melanjutkan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemuda harus senantiasa senasib sepenanggungan dengan rakyat. Juga mendengarkan kata wong cilik. Dia menggunakan sebuah tamsil, yaitu supaya pemuda mendengarkan "radio masyarakat". Saya sangat terkesan oleh kepandaian Bung Amir berpidato. Saya kemudian menulis cerpen untuk ikut dalam perlombaan mengarang yang diselenggarakan oleh majalah Djawa Baroe. Judul cerpen Radio Masyarakat, terpilih sebagai pemenang nomor tiga. Dikasih hadiah Rp 50. Kelak dimuat oleh HB Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Karena buku itu dipakai dalam pelajaran sastra pelajar SMP, saya dikenal sebagai yang menciptakan istilah Angkatan 45 dalam kesusasteraan, dan sebagai penulis cerpen Radio Masyarakat.
Pertemuan kedua dengan Bung Amir terjadi di Stasiun Gambir petang hari 1 Oktober 1945. Pada hari itu Merdeka, yang dipimpin BM Diah, terbit untuk pertama kali. Sebagai redaktur pertama harian Merdeka bersama Wali Kota Jakarta Suwiryo saya menunggu kedatangan Bung Amir dari Surabaya. Dia ditangkap oleh Jepang pada Januari 1943, dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25.000 gulden dari Van der Plas sebelum kapitulasi Belanda kepada Jepang. Dia dihukum mati oleh Jepang, tapi berkat intervensi Soekarno vonis itu tidak dilaksanakan. Bung Amir telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Presiden Soekarno. Turun dari kereta api dia tampak lelah dan kurus. Jelas dia telah disiksa oleh kempetai Jepang. Dia tidak dapat memberikan keterangan apa-apa kepada wartawan yang datang, cuma satu orang. Dia langsung pulang ke rumah istrinya di Jalan Merbabu. Saya ikuti dia ke sana. Dia tetap tidak mau bicara. Kecuali bertanya "Saudara dulu ada di mana?" Saya jawab "Saya orang biasa, Bung". Segera dia bertugas sebagai Menteri Penerangan. Pada 4 Oktober diselenggarakan konferensi pers pertama dengan koresponden luar negeri yang telah datang di Jakarta. Diceritakannya pengalamannya dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang. Dengan tegas disimpulkannya: "Semua itu menunjukkan cerita-cerita orang di luar bahwa pemerintahan RI adalah boneka Jepang sama sekali tidak benar". Saya terkesan mendengar kefasihan dia bicara dalam bahasa Inggris.
Tak Banyak Bicara
Pada hari yang sama di kediaman Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menerima para koresponden luar negeri, yang pada waktu itu berpakaian seragam militer dan di pundak ada badge war correspondent. Soekarno didampingi oleh beberapa menteri, seperti, Menlu Subardjo, Mendagri Wiranatakusuma, Menteri Perekonomian Surachman, Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Menteri Kehakiman Soepomo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang pakai celana pendek, kaus kaki panjang, gaya uniform Marsekal Lord Wavell. Dia tidak banyak bicara. Yang menjawab pertanyaan Presiden Soekarno
Pada 10 Oktober, Tiongkok merayakan peringatan Kuomintang. Di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Lapangan Banteng (di zaman Belanda Hooggerechtshof, Mahkamah Agung) Bung Amir berpidato tanpa teks yang dipersiapkan. Dia bicara lancar, menarik, karena merujuk pada fakta-fakta sejarah. Salah satu sound bite diutarakannya ialah "Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai keadilan dan kemakmuran".
Kami berada di Yogya pada 10 November 1945 di Gedung Sociteite, tempat diadakannya Kongres Pertama Pemuda Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden hadir, juga Menteri Penerangan. Pukul 10.00 di- terima telepon interlokal dari Surabaya yang mengabarkan "Inggris telah mulai membom". Sumarsono, pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), segera menginstruksikan agar delegasi Jawa Timur meninggalkan ruangan dan kembali ke front. Bung Amir mendekati saya dan berkata "Pergilah ke Surabaya. Beritakan pertempuran di situ". Itulah sebabnya saya dan rekan Mohammad Supardi dari Merdeka dengan naik kereta api yang membawa amunisi berangkat meliput pertempuran di Surabaya.
Saya lihat Bung Amir bersama Dr Ak Gani menyambut kedatangan delegasi Belanda di Pelabuhan Cirebon pada November 1946. Ketua Komisi Jenderal Belanda mantan PM Schermerhorn dan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sedang dalam perjalanan ke Linggajati di mana sudah menunggu PM Sutan Sjahrir. Saya tidak dapat bicara dengan Bang Amir waktu itu. Saya bukan wartawan, melainkan ditunjuk oleh pemerintah menjadi ajudan Lord Killearn, sehingga sibuk melayani diplomat Inggris yang jadi mediator perundingan Linggajati. Karena Sjahrir menolak tuntutan Belanda supaya menyetujui pembentukan gendarmerie yang bertanggung jawab atas keamanan dan di- kepalai oleh jenderal Belanda, sedangkan di pasal-pasal politik dia telah memberikan konsesi, terjadi krisis yang menyebabkan Sjahrir mengembalikan mandatnya. Amir Sjarifoeddin tampil sebagai PM pada 3 Juli 1947, tapi dalam kabinetnya Masyumi tidak ikut serta. Atas saran Soekarno, Bung Amir memasukkan orang-orang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) seperti Wondoamisano, Arudji Kartawinata ke dalam kabinet dan dengan begitu Masyumi terpecah-belah. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, saya diminta datang ke Yogya untuk menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Bung Amir. Saya dengarkan uraiannya bahwa dia membutuhkan backing politik golongan Islam terhadap kabinetnya dan karena itu memasukkan PSII ke dalamnya. Tak lama setelah saya balik ke Jakarta, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik.
Kapal Perang
Kesempatan berikut saya melihat Bung Amir ialah di kapal perang Amerika Renville, yang berlabuh di Tanjung Priok di mana diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Bung Amir sedang bercakap-cakap dengan Profesor Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang jadi perantara dalam perundingan Renville, Desember 1947 dan berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Waktu bercakap-cakap dengan Graham di geladak Renville, Bung Amir memegang sebuah Kitab Injil. Reaksi partai Masyumi dan PNI terhadap teks perjanjian Renville yang telah ditandatangani oleh PM Amir Sjarifoeddin menimbulkan krisis kabinet. Bung Amir mengembalikan mandat dan kabinetnya digantikan oleh kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948. Sejak itu Bung Amir hilang dari layar radar pengamatan saya. Dari pedalaman datang berita mengenai oposisi keras dari Sayap Kiri yang kemudian menjelma sebagai FDR (Front Demokrasi Rakyat) terhadap kabinet Hatta. Bung Amir aktif di dalamnya. Pada 11 Agustus, Suripno yang mewakili RI di Praha, bersama seorang "sekretaris" terbang dari Bukittinggi ke Yogya dan beberapa hari kemudian mengungkapkan bahwa "sekretaris" itu ada- lah Musso, gembong PKI yang sudah lama bermukim di Uni Soviet.Dengan cepat Musso membubarkan FDR, membentuk PKI. Bung Amir memberikan pengakuan publik bahwa sejak 1935 dia bergabung dengan "Partai Komunis Ilegal" yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada 1936. Lalu Setiadjit, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid, juga mengaku mereka adalah komunis.Pada 18 September 1948 dipimpin oleh Sumarsono pecah pemberontakan PKI di Madiun. Akibatnya, Soekarno-Hatta bertindak tegas terhadap PKI. Musso ditembak mati ketika melarikan diri. Bung Amir bersama Maruto Darusman ditangkap, kemudian menjelang akhir tahun dieksekusi di sebuah desa dekat Solo. Bung Amir tewas dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah menyanyikan lagu "Internationale", dalam usia 41 tahun, masih muda. Apakah Bung Amir komunis? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Bung Sjahrir yang menjawab "tidak". Tapi, Sjahrir tidak memberikan alasan mengapa dia menjawab begitu. Bagaimanakah Bung Amir waktu masih studen Rechts Hoge School di Batavia? Tanya saya kepada Dr Abu Hanifah, yang satu asrama dengan Bung Amir. Dijawabnya "Amir itu seniman. Di kamarnya dia suka main biola menggesek lagu-lagu klasik. Pada waktu itu karena pengaruh guru besarnya Profesor Schepper dia sedang tekun membaca Injil, sebagai orang yang semula Islam berganti agama memeluk Kristen. Tidak ada tanda-tanda dia tertarik pada komunisme". George McTurnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifoeddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville". Dia merasa ditinggalkan oleh AS yang katanya jago demokrasi itu. Tapi, keterangan lain yang saya dengar waktu itu sebabnya Amir menyatakan dirinya komunis adalah untuk tetap bisa berperan sentral di pentas politik, berada at center stage. Mana yang benar, siapa yang tahu? Bung Amir telah membawa sebuah misteri ke alam kubur. Orang boleh mengadakan kajian psiko-analisis dan mungkin di situ bisa diperoleh jawaban untuk menerangkan perilaku Bung Amir. Di mata saya, sebagai wartawan muda di zaman revolusi, Bung Amir adalah seorang nasionalis, idealis, tapi bersamaan juga tragis.
Penulis adalah wartawan senior
Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY
Wednesday, November 26, 2008 at 4:51am

Senin, 25 Februari 2013

Bertemu dengan Ilyas Karim


Minggu, 04-09-2011 11:03:27 oleh: Dasman Djamaluddin Kanal: Peristiwa sumber:http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=19293&post=1
Sabtu sore sekitar pukul 17 WIB, tanggal 3 September 2011, tergerak hati saya untuk menemui Ilyas Karim yang mengaku salah seorang pengibar bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumahnya Jalan Rajawati Barat Kalibata no.7 Jakarta Selatan. Semua orang sudah tentu tahu, bahwa rumahnya tidak seperti dibayangkan, hanya sebuah rumah sederhana di pinggiran rel kereta api, di mana disitulah tinggal seorang Pejuang 45 berpangkat Letnan Kolonel (Purn).
Saya menelusuri jalan itu dan menemui Ilyas Karim sedang duduk di beranda rumahnya. Baru pertama kali saya bertatap muka dengan beliau. Usianya sudah tidak muda lagi, 84 tahun akunya. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 31 Desember 1927. Meskipun demikian, tubuhnya masih sehat dan daya ingatnya masih kuat. "Sebegitu pentingkah orang ini?," tanya saya dalam hati. Rupanya Ilyas Karim sedang dilanda hujatan karena mengaku sebagai orang yang berpakaian putih-putih pada waktu mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan mengibarkan bendera itu bersama chudancho Singgih. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pendapat beberapa orang atau sumber yang mengatakan kedua orang itu adalah chudanco Abdul Latief Hendradiningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Lha mana yang benar?
Ketika saya berkunjung itu saya tidak melihat siapa yang benar. Tetapi buat saya Ilyas Karim adalah sumber pertama yang masih hidup. Di dalam penelitian, kita selalu memakai sumber pertama dan kedua. Biasanya sumber pertama lebih kuat dari pada sumber kedua. Tetapi kali ini entahlah. Bagaimana pun memang harus melalui proses. Sehingga dalam ilmu penelitian tidak ada istilah meluruskan. Jika istilah ini dipakai maka selesailah proses penelitia itu karena ada pengklaiman pembenaran oleh seseorang. Di dalam proses penelitian yang terjadi adalah penemuan-penemuan sumber yang baru. Bisa saja yang dikatakan benar hari ini akan digugurkan oleh penemuan baru berikutnya dan berikutnya. Jadi tidak ada istilah pelurusan.
Ilyas Karim adalah Pejuang 45. Sejak tahun 1936, ia sekeluarga pindah ke Jakarta. Ayahnya pernah menjabat Demang (Camat) Matraman Jakarta, namun di Zaman Jepang, ayahnya ditangkap, dibawa ke Tegal dan dibunuh Jepang di sana. Sebelum bulan Agustus 1945, Ilyas Karim bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Jalan Menteng 31 Jakarta. Masuk TNI-AD dan pensiun dengqn pangkat Letnan Kolonel. Pernah ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian di Lebanon dan Vietnam. Beliau sekarang adalah juga Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI) yang bermarkas di Komplek Kodam Jaya Jatiwaringin. Melihat perjuangannya selama ini saya belum menyimpulkan apakah yang dikatakan Ilyas Karim benar atau salah. Saya hanya melihat dari sisi sumber pertama yang masih hidup. Sejarahlah nanti yang bisa membuktikan siapa pengibar bendera Merah Putih sebenarnya.
----------------------------
Sdr Dasman Djamaluddin M.Hum adalah Sejarawan UI yang juga menyandang profesi Sarjana Hukum. Sangat berminat sekali ihwal Ilyas Karim terutama yang terkait kontroversi pengibar bendera Proklamasi agar di seminarkan. Semoga terlaksana. Foto diatas sdr Dasnan ketika sedang meneliti bersama Sdr Edi Suardi M.Hum direktur Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta.

Jumat, 22 Februari 2013

Kontroversi Pengibar Bendera 17 Agustus 1945


Karena Suhud (foto tengah) saat Proklamasi dibuat dari belakang, cirinya yang tidak bisa tertukar dengan Ilyas Karim (foto kiri) adalah tinggi lehernya. Ilyas karim memiliki tinggi leher yang pendek, sedangkan Suhud tinggi lehernya panjang. Sehingga pada foto kanan (foto pendamping Latif Hendraningrat pengibaran bendera saat Proklamasi) tidak mungkin Ilyas Karim...Itu adalah Suhud. Bayangkan kalau itu Ilyas Karim maka dari belakang lehernya tidak kelihatan.

Senin, 18 Februari 2013

Charles Breijer telah tiada

tanggal 18 Agustus 2011, satu hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 66, Charles Breijer meninggal dunia. Siapakah Charles Breijer sehingga begitu penting dikaitkan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia ? Ya demikianlah...karena selain sebagai saksi hidup, warga negara Belanda ini sejak tahun 1947-1953 banyak terkait pada pembuatan film dokumenter yang dibuatnya tentang Indonesia. Dia dilahirkan dikota den Haag pada tanggal 26 November 1914 dan meninggal di kota Hilversum tanggal 18 Agustus 2011. Sebagai pemotret profesional, banyak foto peristiwa perang dunia kedua yang disumbangkannya pada media pers pada periode dimaksud. Tapi yang juga cukup penting dirinya adalah seorang sineas yang terkenal saat itu. Memulai karirnya pada tahun 1937 sebagai pemotret dari perusahaan persurat kabaran Arbeiderspers. Pada tahun 1947 bersama Cas Oorthuys dia pergi ke Indonesia dan membuat banyak film dokumenter propaganda bagi kepentingan pemerintah Belanda atas penugasan JC Mol. Film inilah yang antara lain sekarang banyak dipergunakan TV Indonesia dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa periode revolusi 1945-1949. Tentu saja akibatnya sedikit sekali informasi sebenarnya tentang apa siapa dan bagaimana yang terjadi dipihak RI. Tapi bolehlah kita mengetahui melalui buah tangan Breijer soal Linggarjati, Renvile atau KMB misalnya. Tapi yang sedikit istimewa adalah peranan Breijer setelah penyerahan kedaulatan 1949 misalnya. Banyak foto atau film yang dibuatnya tentang Bung Karno. Dia mengikuti perjalanan Bung Karno tahun 1950 ke India dan membuat foto tentang peristiwa tersebut. Foto dimana Bung Karno memboncengi Bu Fatmawati dengan sepeda yang terkenal itu, dibuat oleh Breijer. Ini bisa dilihat pada koleksi Foto Museum.
Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia Template by Bamz | Publish on Bamz Templates