Para mahasiswa STOVIA ini yang berjumlah 7 orang bernama Soetomo, Soeradji, Goenawan Mangoenkoesomo, Soewarno, Goembreg, Mohammad Saleh dan Soelaeman. Walaupun demikian, berdirinya Boedi Oetomo tidak bisa dilepaskan sama sekali dari nama seorang penganjur utamanya bernama Dr Wahidin Soedirohoesodo. Dr Wahidin memerlukan diri mendatangi para mahasiswa ini sehubungan dengan gagasannya untuk mewujudkan sebuah lembaga beasiswa bagi para pemuda Bumi Putera agar bisa melanjutan studinya dengan baik. Dalam diskusi dua generasi anggota masyarakat kedokteran ini dibicarakanlah hal-hal umum tentang masa depan kebangsaan serta perlunya agen-agen perubahan (agent of changes) untuk memelopori pembangunan kebangsaan. Biar bagaimanapun Boedi Oetomo akhirnya merupakan organisasi pertama yang memunculkan elite Indonesia modern yang menggunakan cara-cara berorganisasi model barat.
Meskipun merupakan organisasi lokal yang pertama berdiri, kelompok mahasiswa STOVIA ini tidak menolak untuk bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo lainnya khususnya dengan cabang Yogya. Bahkan dalam penghargaannya kepada pihak yang lebih senior, selanjutnya dalam tatanan organisasi pusat, Boedi Oetomo STOVIA menjadi cabang Weltevreden.
Dalam perkembangannya, Boedi Oetomo mampu berkembang pesat sebagai organisasi berbasis kebudayaan terutama setelah kongresnya yang pertama pada tanggal 3-5 Oktober 1908 di gedung Mataram Yogyakarta. Sehingga mampu menapak lebih lanjut sejalan dengan perubahan-perubahan dalam negeri maupun perubahan global saat itu. Pada tahun 1917, dalam menyongsong dimunculkannya Dewan Rakyat atau Volksraad, Boedi Oetomo berubah menjadi Partai Politik. Namun, Boedi Oetomo pasca kongres pertamanya itu bukanlah organisasi yang sejalan dengan pikiran para pendirinya. Ini terlihat dari kuatnya dominasi kaum ningrat dan ikut campurnya hegemoni Kolonial. Bukan hal aneh Boedi Oetomo kemudian menjadi partai Co (Koperatif) yang bekerja sama dengan Kolonial dan pada menjelang perang dunia ke II, bergabung dengan organisasi lain membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) yang jelas-jelas berada dipihak politik Kolonial, meskipun bercita-cita kemerdekaan juga.
Diluar negeri kebanyakan agen perubahan sebuah tatanan sosial-budaya kebangsaan adalah dari kalangan profesi hukum. Tapi di Indonesia, tidak saja dalam perintisan kemerdekaan 1908 - 1945, tapi juga dalam mempertahankan kemerdekaan 1945 – 1949, mereka banyak dari kalangan Kedokteran. Tersebut sejumlah nama yang aktif dalam perjuangan militer maupun perjuangan diplomasi, seperti Dr A.K Gani, Dr Leimena, Dr Soedarsono, Dr Halim, Dr Abdurachman Saleh, Dr Tjoa Sek Ien, Dr Kariadi, Dr Darma Setiawan, Dr Bahdar Djohan, Prof Dr Mochtar, Dr Muwardi, Dr Rajiman Wediodiningrat, Mahasiswa Subianto Djojohadikusumo, Suroto Kunto, Daan Jahja, Taswin, Dr Soejono Judodibroto, Eri Sudewo dan masih banyak lagi.
Demikian pula pada seratus tahun yang lalu, pada awal Abad ke XX, bukanlah sebuah kebetulan telah terjadi sebuah langkah baru untuk memberi makna pada perjuangan kebangsaan itu. Tersebut nama-nama Dr Cipto Mangunkusumo, Dr Sitanala, Dr Laoh, Dr Latumeten, Dr Abdul Rivai, Dr Tehupeiory kakak beradik, dll. Termasuk dalam lingkungan ini adalah para mahasiswa STOVIA yang tidak sempat mengahiri studinya seperti Suardi Surjaningrat, Tirto Adhisurjo dan Abdul Muis. Karena aktifitasnya berlebihan diluar pendidikan, ketiganya kemudian mengabdikan dirinya pada bidang lain yang tidak kalah pentingnya dalam kemajuan bangsa. Suardi kemudian menjadi tokoh pendidikan dan mendirikan Taman Siswa, Tirto Adhisurjo menjadi tokoh pers dan pendiri Sarikat Dagang Islam, Abdul Muis adalah tokoh politik kebanggaan Sarikat Islam dan anggota Volksraad. Salah seorang tokoh Sarikat Islam lainnya jebolan sekolah dokter NIAS (Nederlands Indisch Art School) di Surabaya adalah Karto Suwirjo. Ketika pada tahun 1927 STOVIA ditutup dan kegiatan pendidikan dokter beralih kepada GH (Geneeskundig Hoogeschool) atau sekolah dokter tinggi, maka sejumlah mahasiswa kedokteran yang tidak mungkin melanjutkan diri, ditawarkan melanjutkan ke bidang pendidikan lain. Sejumlah dari mereka kemudian menjadi ahli hukum. Diantaranya terdapat nama Mohamad Roem, Assaat dan Sudiman Kartohadikusumo. Roem kemudian terkenal sebagai perunding kondang dengan Belanda dan pernah menjabat menteri dalam beberapa kali kabinet RI serta menjadi Komisaris Agung saat RIS. Asaat pernah menjadi ketua KNIP (parlemen RI) dan terahir Presiden RI (anggota federal) dalam periode RIS. Sudiman adalah tokoh aktif pendiri sekolah hukum dan fakultas hukum Universitas Indonesia. Ketiganya memiliki kesamaan pandangan hidup karena ikut aktif pada kongres pemuda ke II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 yang terkenal dengan Sumpah Pemudanya. Dalam periode Sumpah Pemuda, 1928 sejumlah mahasiswa STOVIA ikut berperan aktif. Selain AK Gani dan Lemeina yang sudah disebut diatas terdapat sejumlah mahasiswa STOVIA lainnya seperti Abu Hanifah, Sukiman, Sarwono, dll. Adalah Satiman Wirjosandjojo kakak Sukiman pada tahun 1915 mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga tujuan Mulia) yang kemudian menjadi Jong Java. Saat pendiriannya itu 50 orang mahasiswa STOVIA langsung menjadi anggota. Jong Java merupakan kekuatan politik pemuda yang nyata dan amat berpengaruh dalam kongres pemuda ke II. Setelah kongres, Jong Java bersama organisasi lainnya berfusi menjadi satu dimana pada tahun 1930 muncullah organisasi Indonesia Muda. Dalam kegiatan selanjutnya Indonesia Muda merupakan wadah pemuda kebangsaan Indonesia yang bersatu
Lalu apa hubungan para agen perubahan ini dengan STOVIA ?. Rupanya sistim pendidikan sejak dokter Jawa (1851) sampai STOVIA (1902) kiprah profesi kedokteran di Indonesia amat melekat dengan masyarakat. Dalam menjalankan profesinya itulah segala keluh kesah bangsa terjajah mampu diserap, dipahami dan merupakan pendorong kuat untuk memikirkan gerakan politik emansipasi. Sejalan dengan maraknya Politik Etis, Pihak Kolonial sendiri sebenarnya melakukan pendidikan barat buat kaum Pri Bumi dengan maksud dan tujuan untuk melaksanakan gerakan politik asosiasi, unifikasi dan asimilasi. Tapi hal tersebut amat sulit tercapai karena sesungguhnya para pelaku Kolonial termasuk para pelaku Pemerintahan Dalam Negeri (Binelandsch Bestuur) yang bangsa Eropah maupun bangsa Pri Bumi menjalankan politik pilih kasih atau tebang pilih bercirikan faham Feodal, serta kerap bercirikan pula politik warna kulit (apartheid). Akibatnya rakyat amat jauh dengan para pemimpinya yang alat Belanda itu. Dan para mahasiswa atau dokter Pri Bumi inilah yang terkait langsung sebagai pemimpin yang mencuat muncul (emergent) dan dibutuhi bangsa Indonesia yang sedang bangkit.
Perlu juga disadari bahwa para guru-guru STOVIA merupakan orang-orang akademisi yang mencintai kebebasan dan kebenaran. Paham-paham liberalisme sebagai warisan Revolusi Perancis bukan tidak mungkin menjadi bahan diskusi sehari-hari yang bisa saja disampaikan pada para murid. Salah satu peristiwa terkenal di STOVIA adalah saat Soetomo akan dihukum karena sikap dan tindakan yang dianggap radikal. Ternyata dia dibela Prof Dr FH Roll, guru besar STOVIA yang berpikran maju. Salah satu kata-kata yang disampaikan dalam sidang para guru untuk pertimbangan nasib Soetomo adalah “ Apakah diantara tuan-tuan yang hadir disini tidak ada yang lebih merah dari Soetomo waktu tuan-tuan berumur 18 tahun ?”. Isilah merah maksudnya tindakan radikal yang merupakan ciri dari Revolusi Komunis di Rusia.
Disarikan dari Buku Kecil yang akan diterbitkan berkenaan dengan PERINGATAN 100 TH KEBANGKITAN NASIONAL, yang diprakarsa oleh PERHIMPUNAN SEJARAH KEDOKTERAN INDONESIA.
0 komentar:
Posting Komentar