Insinyur Soekarno, Drs Mohammad Hatta, dan Dr Radjiman Wediodiningrat, setelah mengunjungi Marsekal Terauchi di Dalat membicarakan soal kemerdekaan Indonesia, tiba kembali di Lapangan Terbang Kemayoran pada 13 Agustus 1945. Kemudian, Soekarno berpidato di depan rakyat yang menyambutnya. Ia mengatakan, "Sebelum jagung berbunga, Indonesia pasti merdeka." Sejarawan Dr Rushdi Husein memberikan kepada saya kliping koran Asia Raja, 16 Agustus 1945, dan di situ ada wawancara dengan Soekarno-Hatta. Antara lain mereka bilang: "Dalam perjalanan pulang kami berjumpa dengan Letnan Kolonel Ibrahim Yaacob dan beberapa opsir Giyuugun lainnya, dan berjumpa pula dengan Dr Gaos Mahjoedin. Mereka menyatakan bahwa rakyat di tanah Melayu ingin bersatu dalam negara Indonesia."
Ibrahim Yaacob, pemimpin Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang didirikan, 1938, lahir pada 1911 di Temerloh, Pahang. Leluhurnya berasal dari Bugis. Lulus dari Sultan Idris Training College, 1931, pada usia 29 tahun Ibrahim menjelma sebagai nasionalis radikal yang mengagumi Soekarno. Pada 1941 dengan bantuan uang dari Konsul Jenderal Jepang di Singapura, Ibrahim membeli surat kabar Melayu di Singapura Warta Malaya. Ketika pecah Perang Pasifik 7 Desember 1941, Ibrahim bersama 110 anggota KMM dipenjarakan oleh Inggris. Tentara Jepang mendarat di pantai timur semenanjung Melayu dan pemuda-pemuda dari KMM menjadi pandu penunjuk jalan dan juru bahasa bagi tentara Jepang. Sebagaimana Jepang di Jawa membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan di Sumatera, Giyuugun, maka juga di Malaya dibentuk Giyuugun. Ibrahim dilatih selama enam bulan dan sebelum Juni 1944 dia dilantik sebagai Komandan Giyuugun dengan pangkat Letnan Kolonel. Demikian Cheah Boon Kheng dalam makalahnya. Pada bulan-bulan awal 1945, kelompok KMM yang diilhami oleh perkembangan politik di Pulau Jawa, di mana Soekarno diberi ruang gerak lebih luas, menyusul janji kemerdekaan oleh PM Koiso 7 September 1944, menghidupkan cita-cita pan-Indonesia merdeka dan mulai memberikan dukungan kepada gagasan Indonesia Raya. Untuk menjamin bahwa Malaya dimasukkan ke dalam program Indonesia untuk kemerdekaan, Ibrahim mengutus tiga wakilnya ke Jakarta untuk bertemu dengan Soekarno. Di Jakarta, Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia membicarakan tapal batas negara Indonesia mendatang, apakah berupa bekas Hindia Belanda, atau bekas Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, Niauw Guinea, Borneo Utara dan Timor Timur Portugis. Ataukah bekas Hindia Belanda minus Niauw Guinea. Muhammad Yamin menganjurkan alternatif kedua, yakni Indonesia Raya. Soekarno setuju dan pada pemungutan suara 39 dari 62 anggota Badan tersebut memilih Indonesia Raya.
Pada 8 Agustus 1945, satu delegasi Indonesia terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman, pergi ke Saigon menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia pada 13 Agustus delegasi itu mampir di Taiping dan di sana bertemu dengan Ibrahim Yaacob, yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya (tidak termasuk Singapura) di dalam rangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus. Soekarno yang duduk di samping Hatta terharu oleh antusiasme Ibrahim. Dijabatnya tangan Ibrahim, lalu berkata "Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia". Ibrahim menjawab "Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia".
Semua itu tidak sampai terjadi. Jepang kalah perang dan menyerah 15 Agustus. Ibrahim diperintahkan untuk membubarkan Giyuugun. Cita-cita Indonesia Raya ambruk. Tanggal 19 Agustus dengan pesawat Jepang Ibrahim terbang ke Jakarta bersama istrinya, iparnya Onan Haji Siraj dan Hassan Hanan. Setibanya di Jakarta, Soekarno mengatakan kepada Ibrahim bahwa gagasan memasukkan Malaya tidak mudah karena kita harus berkelahi dengan Inggris dan Belanda, pada waktu yang bersamaan. Tapi, Soekarno menyarankan agar Ibrahim dan rekan-rekannya bergabung dalam perjuangan di Jawa untuk mencapai cita-cita Indonesia Raya. Sejak itu Ibrahim mengalami hidup sebagai seorang yang diasingkan, dan baru 1973 dia menginjakkan kakinya lagi di bumi Malaysia. Sebelum itu, dia tidak bisa kembali, karena dilarang oleh pemerintah Malaysia. Pada November 1955, kurang lebih dua tahun sebelum Malaya merdeka, Tengku Abdul Rachman sebagai Chief Minister Malaya mengunjungi Jakarta atas undangan Presiden Soekarno. Ibrahim bertemu secara informal dengan Tengku, waktu itu, tapi pendirian mereka sangat berbeda. Tengku mau Malaya merdeka dalam Commonwealth Inggris. Ibrahim mau Malaya merdeka melalui bergabung dengan Indonesia dalam rangka Indonesia Raya. Di bawah perlindungan Soekarno, Ibrahim diangkat sebagai anggota parlemen Indonesia di mana dia dikenal sebagai Iskandar Kamel. Ketika Soekarno jatuh dari kekuasaan, pasca-G-30-S, 1965, Ibrahim melepaskan politik dan memulai Bank Pertiwi di mana dia jadi Dirut sampai tutup usia di Jakarta, 8 Maret 1979. Ibrahim Yaacob dimakamkan di Kalibata sebagai tanda bahwa Indonesia menghormatinya sebagai seorang patriot. Inilah kisah Ibrahim Yaacob, pemimpin Melayu yang bertemu dengan Soekarno-Hatta di Taiping Agustus 1945 untuk membicarakan cita-cita Indonesia Raya yang tidak pernah terwujud.
*Penulis adalah wartawan senior. *foto : pertemuan Taiping. *Tulisan dari Suara Pembaruan 26 Agustus 2008
0 komentar:
Posting Komentar