Rabu, 30 Mei 2012

Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena (lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905 – meninggal di Jakarta, 29 Maret 1977 pada umur 72 tahun). Dirinya, adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri dalam kabinet Republik Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora. Pada tahun 1914, Leimena hijrah ke Batavia (Jakarta) dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Batavia. Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa, merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk pada tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Dengan keaktifannya di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang sejak saat itu. Karena adanya perubahan sistim pendidikan kedokteran di Hindia Belanda pada tahun 1927 yaitu STOVIA ditutup dan didirikan GHS (Geneeskunde Hogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran), maka setelah menempuh setengah pendidikan kedokterannya di STOVIA, ia sempat melanjutkan pendidikan sebagai dokter di GHS itu di Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 1930. Leimena mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930 . Pertama kali diangkat sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo). Tak lama ia dipindahtugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung. Di rumah sakit ini ia bertugas dari tahun 1931 sampai 1941. Dizaman Jepang dan Revolusi (1942-1945) bertugas di Rumah Sakit Tanggerang. Pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terbentuk dan pada tahun 1950, ia terpilih sebagai ketua umum dan memegang jabatan ini hingga tahun 1957. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara. Ketika Orde Baru berkuasa, Leimena mengundurkan diri dari tugasnya sebagai menteri, namun ia masih dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Usai aktif di DPA, ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini. Pada tanggal 29 Maret 1977, J. Leimena meninggal dunia di Jakarta. Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. Leimena. (Sumber Wikipedia yang diperbaiki).
Foto: Dr Leimena di Kemayoran Jakarta, pada akhir tahun 1947 menyambut kedatangan Horace Merle Cochran dari Amerika Serikat, Cochran selaku ketua Komisi Tiga Negara (KTN). KTN dibentuk dalam rangka perundingan Indonesia-Belanda 1947-1948 (Renville dan Kalurang)

Selasa, 22 Mei 2012

Bemo berumur 50 tahun

Tidak terasa kedaraan dari pabrik Daihatsu ini sudah berumur 50 tahun (1962-2012). Bemo adalah singkatan dari "becak motor" dan merupakan kendaraan bermotor roda tiga yang biasanya digunakan sebagai angkutan umum di Indonesia. Bemo mulai dipergunakan di Indonesia pada awal tahun 1962, pertama-tama di Jakarta dalam kaitannya dengan Asian Games 1962 yang adalah Asian Games yang ke-4. Belakangan kehadiran bemo dimaksudkan untuk menggantikan becak. Namun rencana ini tidak berhasil karena kehadiran bemo tidak didukung oleh rencana yang matang. Bemo tidak hanya hadir di Jakarta, melainkan juga di kota-kota lain seperti di Bogor, Bandung, Surabaya, Malang, Padang, Denpasar, dll. karena kendaraan ini sangat praktis dan mampu menjangkau jalan-jalan yang sempit, dan dapat melaju jauh lebih cepat daripada becak. Bemo yang mulanya beroperasi seperti taksi, belakangan dibatasi daerah operasinya di rute-rute tertentu saja, dan akhirnya disingkirkan ke rute-rute kurus yang tak disentuh oleh bus kota. Di Jakarta, bemo mulai disingkirkan pada 1971, disusul oleh Surabaya dan Malang pada tahun yang sama. Pada 1979, Pemerintah Daerah Surakarta mengambil langkah yang sama. Itu teorinya, tapi pada tempat tertentu seperti Bendungan Hilir, Bemo masih beroperasi. Bagaimana mungkin ? Bukankah pabriknya sudah tutup ? Itu teorinya juga, di Jakarta dan Bogor ada pabrik dan bengkel Bemo. Dan inilah usaha rakyat kecil yang menjalankan teknologi tepat guna....sampai nanti pabriknya di grebek Kementerian perhubungan. Foto: Saat pertama kali Bemo beroperasi tahun 1962 di Jakarta.

Senin, 21 Mei 2012

Mereka Bicara tentang Hari Kebangkitan Nasional

Sumber RRI

Boedi Oetomo dan OSVIA


OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) pada tahun 1908 diragukan apa ikut menyemarakkan lahirnya Boedi Oetomo (BO) dan secara tersirat Kebangunan Nasional ? (selanjutnya sejak tahun 1950 bernama Kebangkitan Nasional). Para pemuda dalam foto adalah para siswa OSVIA Probolinggo. Merekalah selanjutnya setelah lulus merupakan potensi penghubung (schakel) antara tuan-tuan pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat jelata. Kadang memulai karir sebagai juru tulis sampai menjadi Regent (Bupati). Sebenarnya pada tahun 1908 dengan terbentuknya BO mereka bereaksi juga. Atas kekuasaan politik tingkat tinggi dalam Kongres BO Oktober 1908, bahkan Bupati Karanganyar, Tirtokoesoemo menjadi ketua BO, Dr Wahidin hanya jadi wakilnya. Selanjutnya BO menjadi organisasi Priayi. Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Ernest Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya. Tahun ini Museum Kebangkitan Nasional Jakarta memperingati Hari Kebangkitan Nasional fokus pada Indische Partij, sebuah organisasi yang 100 tahun yang lalu tanpa ragu menyatakan "Menuju Kemerdekaan Hindia (atau Indonesia)". Sumber foto: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title (OSVIA)_Probolinggo_

Kebangkitan Nasional 2012


Bertempat di Museum Kebangkitan Nasional tanggal, 21 Mei 2012 telah dibuka dengan resmi oleh Direktur Pelestarian  Cagar Budaya dan Museum Kem Dik.Bud, Bapak Surya Helmi, Pameran Sejarah Pergerakan nasional  Nasional  " Satu Abad Indische Partij". Pameran akan berlangsung selama 1 minggu sampai dengan tanggal 27 Mei 2012. Indische Partij didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Ernest François Eugène Douwes Dekker (sering disingkat menjadi E.F.E. Douwes Dekker saja) Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Selain pameran, bulan depan juga akan diselenggarakan Seminar 1 Abad Indische Partij dengan tempat yang sama yaitu Museum Kebangkitan Nasioanal jalan Abdurachman Saleh no.26 Jakarta.

Minggu, 13 Mei 2012

Peristiwa Perundingan Linggarjati akan diangkat dalam layar lebar

Tiba-tiba foto ini muncul dalam media cetak surat kabar maupun internet, terkait rencana pembuatan film layar lebar oleh produser sekaligus sutradara Kuswara Sastra Permana  tentang perundingan Indonesia-Belanda didesa Linggarjati Kuningan Jawa Barat. Mungkin banyak yang bertanya-tanya apa yang tersirat dalam foto ? Foto dibuat pada tanggal 12 November 1946 saat rehat siang ketika di Linggarjati sedang berlangsung perundingan Indonesia-Belanda. Tempat pengambilan foto didalam rumah yang kini dikenal sebagai situs rumah Sjahrir di Linggarjati. Gedung ini memang dipergunakan untuk makan siang kedua delegasi yang berunding maupun tamu penting lainnya. Gedung juga merupakan tempat menginap delegasi Indonesia. Saat itu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta diundang oleh ketua delegasi Indonesia Perdana Menteri Sjahrir, untuk terlibat dalam perundingan . Dalam foto hadir, Presiden Soekarno, mantan Perdana Menteri Kerajaan Belanda W.Schermerhorn (ketua delegasi Belanda), Lord Killearn, diplomat penengah perundingan dari Kerajaan Inggris, Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda van Mook. Justru foto ini (dan sejumlah foto lainnya) amat bermakna untuk difahami masyarakat. Pertama tidak terbayangkan sebelumnya kalau dua bangsa yang sebelum perang adalah penjajah dan dijajah, dapat duduk bersama berunding untuk membicarakan soal penting tentang dekolonisasi di Indonesia. Yang kedua ketika perundingan selesai, saat itulah untuk pertama kali baik Belanda maupun dunia internasional mengakui eksistensi Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Yang ketiga dokumen Linggarjati merupakan dokumen persetujuan pertama yang menjadi dasar dari perundingan selanjutnya yaitu Renville dan KMB. Bagi yang yakin, tidak mungkin jalan penyelesaian dekolonisasi Indonesia tercapai tanpa melalui proses diplomasi dan moderasi. Dua sisi mata uang "diplomasi dan bertempur" dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia sejak lama tidak secara bijak ditempatkan secara berimbang. Mesti selalu non combat procedure dikebelakangkan....Semoga film ini benar-benar berhasil direalisasikan...

Selasa, 08 Mei 2012

Museum Lapawawoi


Salah satu sudut ruang di Museum Lapawawoi
Museum Lapawawoi
Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,red) Raja Bone , A Mappanyukki, saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-34. Museum ini, menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH Thamrin, Watampone.



  Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan Raja Bone  Ke 31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

     Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981. dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof Dr Daud Yusuf, pada tahun 1982.

  Di museum ini, ada satu peninggalan dari Raja Bone ke II, La Ummasa Petta Mulangnge Panre atau Petta Panre BessiE , yaitu Lanreseng atau landasan untuk menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi koleksi dari Museum La Pawawoi. Raja Bone kedua ini merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula menciptakan dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone.. Makamnya terletak di Jalan Ahmad Yani Pusat Kota Watampone
    Lanreseng tersebut merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat dari  besi. Tak hanya itu, koleksi lainnya yaitu  Bessi Sikoi atau besi yang berupa cincin yang saling mengait satu sama lainnya,  milik La Tenri Tata Arung Palakka. Dan piagam penghargaan VOC Belanda kepada Arung Palakka masih tersimpan di Museum La Pawawoi ini. "Piagam itu  merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda kepada La Tenri Tatta Arung Palakka atas kerjasamanya saat itu (kooperatif dalam artian sebuah strategi), dan piagam itu bertuliskan tinta emas,".
     Museum Lapawawoi  memiliki lima ruangan, dan masing-masing ruangan itu, menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau bagian depan dari Museum ini, menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik, peralatan makan para raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta duplikat bendera Kerajaan Bone.

    Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini, menyimpan pelaminan, peralatan makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi keramik lainnya. Di ruangan ini, berjejer sejumlah peralatan makan yang sengaja ditata secara rapi. Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini.

      Sementara itu, di ruangan ketiga menyimpan silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu Manurunge Ri Matajang hingga Raja Ke 33, . Selain itu, di ruangan ini juga menyimpan duplikat rambut Arung Palakka, duplikat mahkota dan pedang, serta photo Raja Bone dan keturunannya. "Photo penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan saat diasingkan di Bandung pun ada di ruangan ini,"
     
     Sedangkan, di ruangan keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan perisai kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja Bone ke 30, Fatimah Banri petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu sendiri, digunakan dalam urusan administrasi kerajaan saat itu. Di ruangan kelima, tersimpan  piagam penghargaan VOC Belanda ke Arung Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka, serta sejumlah photo Raja Bone dan keturunannya.


     Museum Lapawawoi, sering mendapat kunjungan baik dari kabupaten Bone maupun dari daerah lain. Tak hanya itu,  pengunjung dari provinsi lain di Indonesia juga kerap mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis. "Umumnya pengunjung yang berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih mempunyai keturunan Bugis ,".    
      Umumnya, pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD sampai SMA, dan mahasiswa. Mungkin sebagai generasi muda sudah mulai tertarik  mengunjungi,nya. terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dia berharap, agar masyarakat paham sejarah budaya, tradisi dan pahlawannya, dan ikut melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu ikon pariwisata Sulsel.


Museum Lapawawoi terletak di pusat kota Watampone. Tempat ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kejayaan Bone masa lampau. Di museum ini terdapat berbagai koleksi benda peninggalan Kerajaan Bone yang masih terawatt dengan baik. Benda-benda tersebut merupakan bukti kebesaran Kerajaan Bone pada masa lalu.
Adapu benda-benda yang dipamerkan di museum Lapawawoi antara lain :
1.    Peralatan Upacara Penjemputan
2.    Peralatan Makan untuk Raja
3.    Peralatan Bissu dan Upacara Spiritual
4.    Peralatan Perkawinan
5.    Peralatan Tenun
6.    Peralatan Perang
7.    Duplikat Payung Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge yang terletak berdampingan dengan Rumah Jabatan Bupati Bone)
8.    Duplikat Selempang Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge)
9.    Stempel Kerajaan
10.    Pakaian Adat
11.    Peralatan Nelayan
12.    Peralatan Musik Tradisional
13.    Duplikat Mahkota Arung Palakka
14.    Piagam VOC
15.    Koleksi Mata Uang Kuno
16.    Koleksi Keramik
17.    Koleksi Buku Lontara
18.    Koleksi Foto-foto Kerajaan

Konsep Mattulu TelluE

KONSEP MATTULU TELLUE
I.    PENDAHULUAN
Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki  ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya  mencari cara sedemikian rupa  demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya. Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki  prinsip sebgai pegangan maka segala yang  kita lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang
Demikian pula bangsa Bugis sejak dahulu kala setiap suku telah memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam  menjalankan segala aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.
 Pada masa pemerintahan Latenritata alias Arung Palakka. Dalam lontara disebutkan: “Riwettu Puatta Petta Malampe-E Gemme’na Paoppang Palengengngi Tanah Bone,  Padatosaha Keteng Tepu Seppuloi Lima ompo’na”
Artinya: Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.
Lalu masihkah hari ini, para genarasi (ana' rimunrie) menampakkan taring kebesaran itu?  Adakah kegairahan untuk belajar pada masa silam ? Bukankah potret sejarah masa depan adalah bertaut dengan rangkaian sejarah masa lalu dan apa yang kita gurat pada jejak masa kekinian?
Berbicara tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950–1990). Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'. Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Dari asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit kebugisan kita. Karena di sana ada kearifan hidup,ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup.  Bukankah kearifan itu masih tersisa dalam jejak yang ditinggalnya dalam sastra Pappaseng ?
 Secara umum tercatat dalam sastra besar dunia, Sure’ Selleang I La Galigo.
Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke To-Bone-an hari ini, ketika generasi kekinian tak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, penulis tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.
Coba bayangkan,  Christian Pelras saja yang bukan orang Bugis tapi mampu bertutur  bahasa Bugis dengan fasih pada waktu memberikan ceramah umum tentang Manusia Bugis (26/09/2006). Mungkian suatu saat ketika para generasi ingin belajar bertutur Bugis dan belajar tentang Bugis kita harus belajar di negeri Eropa sana ?. He….he….. Ironis sekali. Bugis mungkin suatu hari nanti hanyalah sebuah predikat yang malas kita sandang. Bukankah generasi kini lebih tahu tentang Putri Diana, lebih menguasai riwayat hidup Ronaldo dibandingkan riwayat Arung Palakka, Kajao Lalliddong  atau  legenda Sawerigading? Arus modernisasi dan neo-liberalisme begitu kuat mencengkram generasi Bugis masa sekarang ini.
Ketika melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bone khususnya dikalangan generasi muda. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa banyak anak muda Bone yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah Bone? Sejauh mana anak muda Bone tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan Bone? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa menulis dan membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa berbahasa Bugis dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)? Apakah perilaku generasi Bone saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional (Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara sesama warga Bone di dalam dan luar daerah?
Kami tidak ingin memberikan jawaban dan penilaian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Yang jelas dengan menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat ke To Bone-an, sangatlah urgen dan strategis untuk dilakukan. Karena diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia (termasuk masyarakat Bone) hidup dalam kecenderungan yang bersifat global. Pergeseran budaya yang semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi  yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan (ke-to Bone-an) akan semakin terkikis atau mungkin hilang dari sanubari masyarakat Bone, terkhusus di kalangan generasi muda (ana ri munri) yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan , kegiatan-kegiatan (aktivitas) dan peninggalan sejarah (artefak yang dimiliki kabupaten Bone dari lingkungannya (Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat).
Seyogianya, Bugis Bone (Wija To Bone) tidak hanya sekadar mengaku dan diakui sebagai orang Bone lantaran lahir di Tana Bone. Akan tetapi, lebih jauh mereka seharusnya memahami sejarah lelulur, memahami kebudayaan Bone dan mengimplementasikannya  nilai-nilai spirit kearifan hidup, spirit keberanian, dan ketangguhan menjalani hidup. Berpegang pada Pesan Leluhur, yakni :  Makkateni ri limae akkatenningeng, iyanaritu :
1.    Mammulanna Riada TongengngE;
2.    Maduanna RilempuE;
3.    Matellunna Rigettengng-E.
4.    Maepana SipakatauE,
5.    Malimanna mappesonaE ri Dewata SewwaE.  (Mattulada: 1995 atau lihat Anwar Ibrahim 2000)
II.   Masa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584)
Mattulu Tellue  berasal dari kata “Situlu Tellu”  dalam bahasa Bugis berarti  saling bertaut tiga yang disimbolkan sebagai tali. Kemudian melahirkan Mattulu Tellue yang artinya sesuatu atau tali  yang bertaut tiga yang dijadikan sebagai simbol keutuhan dan kekuatan. Dalam bahasa Makassar disebut Mabbulo Sipeppa atau Mabbulo Sibatang, yakni tiga batang dijadikan menjadi satu. Dengan menggabungkan tiga buah batang menjadi satu kesatuan dapat membentuk sebuah kekuatan.
Baik Mattulu Tellue ataupun Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang merupakan sesuatu yang abstrak namun di dalamnya sarat dengan makna simbolis yang dijadikan sebagai motivasi dalam semangat hidup.
Dikalangan Bugis Bone, Konsep Mattulu Tellue telah digunakan dimasa pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584) . Konsep ini dipopulerkan oleh sang diplomat ulung dari Tanah Bone yang di kenal dengan gelar  Kajao Lalliddong. Lamellong yang bergelar Kajao lalliddong tersebut banyak menciptakan dan melahirkan konsep-konsep kepemimpinan sebagai norma-norma adab yang dijadikan sebagai anutan oleh raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti berikut ini ;
1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
                Dalam menjaga eksistensi norma-norma adab di atas mereka membangun sebuah prinsip yang dijadikan sebagai perisai yakni Mattulu Tellue antara lain :
1.  Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2.  Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3.  Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka  siapapun harus menaatinya.
Pada hakikatnya jauh sebelum Pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge nilai-nilai semangat Mattulu Tellue telah ada pada masa pemerintahan Raja Bone ke-1 La Ubbi yang digelar Manurungnge Ri Matajang dalam menyatukan rakyat Bone pada masa itu namun kata Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang dipopulerkan oleh lamellong Kajao Lalliddong

III.    Masa pemerintahan Raja Bone  Ke-15 Arung Palakka (1667–1696)

Pada masa ini beliau menumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an.yakni :
1.    Malilu Sipakainge
2.    Mali Siparappe,
3.    Rebba Sipatokkong
(artinya : "Hanyut saling berdampar, Rubuh saling tegakkan, Terlupa saling ingatkan, sehidup saling menghargai) - sebuah pepatah Bugis yang mengandung makna yang sangat dalam tentang arti persaudaraan akan selalu hidup dalam jiwa masyarakat.
Selanjutnya, dengan dasar norma adab di atas,  dalam mempertahankan eksistensi semangat  Konsep Mattulu Tellue secara berkesinambungan di Tana Bone, maka pada masa pemerintahan Raja Bone ke-15 Arung Palakka membangun sebuah motto yang dikenal dengan sebutan “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”  yang artinya “Takkan Tenggelam Matahari Di Tengah Langit” Maksudnya : Sesuatu pekerjaan harus berakhir dengan keberhasilan. Dalam bahasa Bugis “Amporo atau Makkamporoatau “Aja’ Muakkamporo” yaitu telur yang gagal menetas. Maksudnya apabila kita menghadapi atau melakukan suatu pekerjaan janganlah berhenti di tengah jalan. Hal ini setara dengan “ KambacuAjaMuakkambacu” Dalam bahasa Bugis Kambacu adalah biji jagung yang digoreng namun gagal menjadi berti atau mekar. Konsep inilah juga yang dijadikan Arung Palakka sebagai penyemangat dalam membebaskan rakyat Bone yang dijadikan sebagai pekerja paksa  oleh Gowa pada masa itu.
Kebesaran Bone di masa lalu adalah spirit kehidupan, gerak kualitas peradaban. Namun ia baru berarti ketika filosofi agungnya sebagai pondasi dasar dan tetap utuh dianut serta dipegang teguh oleh masyarakatnya. Lalu, sejauhmanakah semangat ke To-Bone-an hari ini dan masih adakah manusia Bugis Bone yang sesungguhnya? Tatkala secara substansial nilai dasar sebagai filosof dan spirit hidup Bugis telah mengalami degradasi dan dehidrasi besar-besaran?

Di zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya kita jadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai “gelitik luhur ” dan bahan renungan bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri, akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu :
”Mattulu Tellue/Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang, yakni : Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,Rebba,Sipatokkong
Sebagaimana Petuah Leluhur :
“Seratu’ Ada’ seddi Gau’, Gau’E mappattentu.,Sadda mappabati Ada’., Ada’ mappabati Gau.,Gau mappabati Tau., Tau Sipakatau Sipakalebbi.  Mappau Ada Mappaddupa Gau,  Sitonrai Lilae  na BatelaE, Nasaba Engka Siri’ta Nennia Pessetasiri’mi rionroang ri lino naiyya Sire’E Nyawa nakira-kira nenniya  Sunge’ Naranreng”, Nassibawai Wawang ati macinnong, lempu, getteng, ada tongeng, temmapasilaengeng, warani, amaccangeng, reso, tenricau tenribali, maradeka nennia assimellereng.,Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappesona ri Dewata SewwaE “Mette’ Tenribali, Massa’da Tenri Sumpala”
IV.   SIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2.    Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3.    Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka  siapapun harus menaatinya.
Selanjutnya, Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-15 Latenri Tata Arung Palakka  dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Malilu Sipakainge,
2.    Mali Siparappe,
3.    Rebba,Sipatokkong”
 (artinya : " Terlupa Saling Mengingatkan, Hanyut Saling Berdampar, Rubuh Saling Menegakkan)
Kata kunci konsep di atas adalah “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”
Dengan demikian, semua tatanan adab di atas  berfungsi perisai dalam
1.    Menjaga dan mempertahankan eksistensinya baik personal maupun kelompok;
2.    Bahasa simbol / Motto  yang berfungsi penyemangat dalam menjalankan segala bentuk aktivitas baik internal maupun eksternal dalam kelompok.
(Mursalim-Teluk Bone)

Jumat, 04 Mei 2012

Tidak Semua Waria adalah Bissu

Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang, bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70 kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan, maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon “Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi, berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang tarifnya paling minim Rp 2 juta.
Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang menyiapkan baju pengantin dan beberapa perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau kemudian sebagian masyarakat mengejek dan mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu penting, bahkan mencakup hampir semua sendi kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu. Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena mereka konon adalah penasehat sekaligus turut mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,” katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa. Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme. Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan. Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat) memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama, melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa, pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir, ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan – sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003, menjalani masa magang selama empat tahun. Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan, tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu bissu yang hanya beredar di kalangan mereka. Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat tentang adanya waria yang akan datang magang di rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian. Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti umumnya waria muda lain. Penampilan harus senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka kian hari kian menurun. Sebagai pendamping komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu mete, mangga, lontar serta persawahan. Di kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu, fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat. Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja. Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur. Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih. Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis, dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah. Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi, sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur. Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji. “Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap orang harus mencicipi makanan yang terhidang. Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak ada keinginan muluk lainnya.
Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang, ‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan? Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara itu semacam demonstrasi kekebalan dengan menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit, bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja, namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama, sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan mendalami agama lebih serius. Mereka semakin menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon, tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel, bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku, karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks. Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan. “Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu. Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri. Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu, terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya “khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus berhubungan seks, namun melalui proses spiritual. “Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini sudah tidak ada yang mempelajarinya.
(kampungbugis)

Kamis, 03 Mei 2012

Siapakah Nama Arung Palakka yang Sebenarnya ?

Nama Arung Palakka cukup banyak, sehingga bila ingin disebut semuanya bisa menjadi barisan kalimat nama yang panjang. Kata Arung Palakka hanyalah sebuah gelar, untuk mengetahui siapakah nama sesungguhnya sang pembebas itu ?
Berikut daftar nama-namanya :

Arung Palakka adalah tokoh sentral yang mengubah jalannya percaturan kekuasaan di kawasan Sulawesi Selatan pada Abad XVII. Dalam banyak buku tentang ketokohan dan perjuangannya, seringkali membuat pembaca, khususnya peminat Sejarah Sulawesi Selatan yang bukan orang Bugis Makassar menjadi bingung karena banyaknya nama yang dilekatkan pada diri Arung Palakka. Berikut ini penjelasan satu persatu mengenai nama - namanya.

1.La Tenri Tatta Toappatunru, adalah nama kecil dan nama remaja Arung Palakka. Kata depan “La” pada depan namanya tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah Bangsawan (Laki - laki). Kata “Tenri” itu artinya Tidak, sedang Tatta bermakna kemauan. ” Toappatunru” artinya adalah yang menundukkan. (To = orang, Appatunru = yang menundukkan). Jadi, “La Tenri Tatta Toappatunru” itu artinya Laki - laki (bangsawan) yang tidak dapat dibatasi kemauannya dan orang yang menundukkan.

2.Daeng Serang adalah nama Arung Palakka saat berada di Makassar (Saat Bone telah dijajah oleh Gowa, Arung Palakka dan keluarganya dipekerjakan di rumah bangsawan tinggi Gowa sedang Orang Bugis Bone - Soppeng lainnya menderita kerja paksa membangun benteng - benteng Makassar. Arung Palakka pun juga merasakan kerja paksa bersama rakyatnya tersebut).

3.Datu Marioriwawo, artinya Raja di Marioriwawo. Marioriwawo adalah kerajaan yang ada di Soppeng. Kerajaan ini adalah warisan dari ibunya, We Tenrisui Datu Mario Riwawo.

4.Arung Palakka, artinya Raja di Palakka. Palakka adalah salah satu kerajaan yang ada dalam wilayah Bone. Kerajaan Palakka adalah warisan dari kakeknya, La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng (Raja Bone XI). Menurut tradisi Kerajaan Bone bahwa, “Yang berhak menjadi Raja di Palakka, berhak pula menjadi Raja di Bone (Arung Mangkaue’ ri Bone), namun tidak semua Raja Bone pernah menjadi Raja di Palakka”. (Kasim, 2002).

5.Petta Malampeq Gemmekna, artinya Raja yang berambut panjang. Nama ini terkait dengan sumpahnya bahwa Arung Palakka tidak akan memotong rambutnya jika belum berhasil membebaskan rakyatnya dari penjajahan Gowa. (Petta itu sebutan untuk bangsawan tinggi Bugis, Malampeq = panjang, Gemmekna = panjang rambutnya). Rambut Arung Palakka tersebut terus menyertai masa perjuangannya (1660 - 1667) dan nantilah dipotong setelah perjuangannya dianggapnya telah berhasil.

6.Arung Ugi, artinya Raja Bugis (Kompeni Belanda menyebutnya Koningh der Bougis). Gelar ini melekat pada Arung Palakka setelah membebaskan negerinya dari cenkeraman kekuasaan Gowa dan menjadi Penguasa atasan (Raja tertinggi) semua negeri / kerajan Bugis. (Ugi artinya Bugis).

7.Petta Torisompae’, artinya Raja yang disembah. Gelar ini melekat pada Arung Palakka sebagai sebuah sebutan dari rakyatnya karena begitu diagungkannya sosoknya sebagai ‘Pahlawan’ dan Raja yang berjasa menaklukkan Kerajaan Makassar.

8.Sultan Saaduddin, adalah nama atau gelar Islam untuk Arung Palakka

9.Matinroe ri Bontoala , artinya yang meninggal di Bontoala, istananya di Makassar.

Sebenarnya masih ada lagi beberapa nama yang melekat pada diri Arung Palakka, Raja Bone XV ini, seperti Datu Pattiro, Datu Lamuru, dan lain sebagainya tapi tidaklah terlalu populer dan yang umum disebut adalah nama - nama diatas.

Asal Usul Gelar Andi pada Bangsawan Bugis

Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.


Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis.

Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).

Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.

Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).

Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.

Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…

Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).

Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.

Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.

Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.

Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.

Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.

Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.

Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka.


FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)

We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.

Yang menjadi tanda tanya adalah :

  1. Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?
  2. Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?

Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki.

Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :

Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?

Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.

Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.

Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.

Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).

Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.
Sumber
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Liputan Sejarah Indonesia: Mei 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates